Senin, 14 Februari 2011

Maulana Muhammad Ilyas Al Kandahlawy


Maulana Muhammad Ilyas Al-Kandahlawy lahir pada tahun 1303 H. (1886) di desa Kandahlah di kawasan Muzhafar Nagar, Utar Prades, India. Ayahnya bernama Syaikh Ismail dan Ibunya bernama Shafiyah Al-Hafidzah. Keluarga Maulana Muhammad Ilyas terkenal sebagai gudang ilmu agama dan memiliki sifat wara’. Saudaranya antara lain Maulana Muhammad yang tertua, dan Maulana Muhammad Yahya. Sementara Maulana Muhammad Ilyas adalah anak ketiga dari tiga bersaudara ini. Maulana Muhammad Ilyas Al-Kandhahlawy juga adalah dari keturunan Hazrat Abu Bakar As-Siddiq R.a, seorang sahabat Rasulullah s.a.w.Maulana Muhammad Ilyas pertama kali belajar agama pada abangnya Syaikh Muhammad Yahya, beliau adalah seorang guru agama pada madrasah di kota kelahirannya. Abangnya adalah seorang pengikut mazhab Hanafi dan sahabat dari seorang ulama dan penulis Islam terkenal, Syaikh Abul Hasan Al-Hasani An-Nadwi yang merupakan seorang direktor pada lembaga Dar Al-‘Ulum di Lucknow, India .

Ayah beliau Syaikh Muhammad Ismail adalah seorang ruhaniawan besar yang suka menjalani hidup dengan ber’uzhlah, berkhalwat dan beribadah, membaca Al-Qur’an dan melayani para musafir yang datang dan pergi serta mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama.Beliau selalu mengamalkan do’a ma’tsur dari hadits untuk waktu dan keadaan yang berlainan. Perangainya menyukai kedamaian dan keselamatan serta bergaul dengan manusia dengan penuh kasih sayang dan kelembutan, tidak seorangpun meragukan dirinya. Bahkan beliau menjadi tumpuan kepercayaan para ulama sehingga mampu membimbing berbagai tingkat kaum muslimin yang terhalang oleh perselisihan di antara mereka.
Adapun ibu beliau Shafiyah Al-Hafidzah adalah seoarang Hafidzah Al-Qur’an. Isteri kedua dari Syaikh Muhammad Ismail ini selalu menghatamkan Al-Qur’an, bahkan sambil bekerjapun mulutnya senantiasa bergerak membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang ia hafal.Maulana Muhammad Ilyas sendiri mula mengenal pendidikan pada sekolah Ibtidaiyah (dasar). Sejak saat itulah beliau mula menghafal Al-Qur’an, hal ini disebabkan oleh kebiasaan yang ada dalam keluarga Syaikh Muhammad Ismail yang kebanyakan dari mereka adalah hafidzh Al-Qur’an. Sehingga diriwayatkan bahawa dalam solat berjama’ah separuh saff bagian depan semuanya adalah hafidzh terkecuali muazzin saja.

Sejak kecil telah tampak ruh dan semangat agama dalam dirinya, beliau memilki kerisauan terhadap umat, agama dan dakwah. Sehingga ‘Allamah Asy-Syaikh Mahmud Hasan yang dikenal sebagai Syaikhul Hind (guru besar ilmu hadits pada madrasah Darul ‘Ulum Deoband) mengatakan, “sesungguhnya apabila aku melihat Maulana Ilyas aku teringat akan kisah perjuangan para sahabat”. Pada suatu ketika saudara keduanya, iaitu Maulana Muhammad Yahya pergi belajar kepada seorang ‘alim besar dan pembaharu yang ternama yakni Syaikh Rasyid Ahmad Al-Gangohi, di desa Gangoh, kawasan Saranpur, Utar Pradesh, India. Maulana Muhammad Yahya belajar membersihkan diri dan menyerap ilmu dengan bimbingan Syaikh Rasyid. Hal ini pula yang membuat Maulana Muhammad Ilyas tertarik untuk belajar pada Syaikh Rasyid sebagaimana abangnya. Akhirnya Maulana Ilyas memutuskan untuk belajar agama menyertai abangnya di Gangoh. Akan tetapi selama tinggal dan belajar di sana Maulana Ilyas selalu menderita sakit. Sakit ini ditanggungnya selama bertahun-tahun lamanya, tabib Ustadz Mahmud Ahmad, anak dari Syaikh Gangohi sendiri, telah memberikan ubat dan rawatan pada beliau.Sakit yang dideritanya menyebabkan kegiatan belajarnya pun terganggu, akan tetapi beliau tidak berputus asa. Banyak yang menyarankan agar beliau berhenti belajar untuk sementara waktu, beliau menjawab, ”apa gunanya aku hidup jika dalam kebodohan”.
Dengan izin Allah SWT, Maulana pun menyelesaiakan pelajaran Hadits Syarif, Jami’at Tirmidzi dan Shahih Bukhari, dan dalam jangka waktu empat bulan beliau sudah menyelesaikan Kutubus Sittah . Tubuhnya yang kurus dan sering terserang sakit semakin membuat beliau bersemangat dalam menuntut ilmu, begitu pula kerisauannya yang bertambah besar terhadap keadaan umat yang jauh dari Syari’at Islam.
Ketika Syaikh Gangohi wafat pada tahun 1323 H, beliau baru berumur dua puluh lima tahun dan merasa sangat kehilangan guru yang paling dihormati. Hal ini membuatnya semakin taat beribadah pada Allah. Beliau menjadi pendiam dan hanya mengerjakan ibadah, zikir, dan banyak mengerjakan amal-amal infiradi . Maulana Muhammad Zakariya menuliskan:Pada waktu aku mengaji sebuah kitab kepada beliau, aku datang padanya dengan kitab pelajaranku dan aku menunjukkan tempat pelajaran dengan jari kepadanya. Tetapi apabila aku salah dalam membaca, maka beliau akan memberi isyarat kepadaku dengan jarinya agar menutup kitab dan menghentikan pelajaran. Hal itu beliau maksudkan agar aku mempelajari kembali kitab tersebut, kemudian datang lagi pada hari berikutnya .
Beliau akhirnya berkenalan dengan Syaikh Khalid Ahmad As-Sharanpuri, penulis kitab Bajhul Majhud Fi Hilli Alfazhi Abi Dawud, dan akhirnya beliau berguru kepadanya. Semakin bertambah ilmu yang dimiliki membuat beliau semakin tawaddu'. Ketawaddukan beliau di usia mudanya menyebabkan beliau dihormati di kalangan para Ulama dan Masyaikh. Syaikh Yahya, abang kandung beliau sendiri tidak pernah memperlakukan beliau sebagai anak kecil, bahkan Syaikh Yahya sangat menghormati beliau.
Pada suatu ketika di Kandhla ada sebuah pertemuan yang dihadiri oleh ulama-ulama besar, di antaranya terdapat nama Syaikh Abdurrahman Ar-Raipuri, Syaikh Khalil Ahmad As-Sharanpuri, dan Syaikh Asyraf Ali At-Tanwi. Waktu itu tiba waktu sholat Asar, mereka meminta Maulana Ilyas untuk mengimami solat tersebut. Ustadz Badrul Hasan salah seorang di antara keluarga besar tersebut berkata, “alangkah panjang dan beratnya kereta api ini, namun alangkah ringan lokomotifnya”, kemudian salah seorang diantara hadirin menjawab,” tetapi lokomotif yang kuat itu justeru keranana ringannya”.
Akibat kematian abangnya, Maulana Muhammad Yahya, pada 9 Ogos 1925, beliau mengalami goncangan batin yang cukup berat. Dua tahun setelah itu, menyusul abangnya yang tertua, Maulana Muhammad. Beliau meninggal di Masjid Nawab Wali, Qassab Pura dan dimakamkan di Nizamuddin. Kematian Maulana Muhammad ini mendapat perhatian dari masyarakat sekitarnya. Beribu orang menziarahi jenazahnya. Setelah dimakamkan orang ramai meminta kepada Maulana Ilyas untuk menggantikan abangnya di Nizamuddin padahal pada waktu itu beliau sedang menjadi salah seorang pengajar di Madrasah Mazhahirul ‘Ulum. Masyarakat bahkan menjanjikan dana bulanan kepada madrasah dengan syarat agar dapat diamalkan seumur hidupnya.
Pada akhirnya, setelah mendapat izin dari Maulana Khalil Ahmad dengan pertimbangan jika tinggalnya di Nizamuddin membawa manfaat maka Maulana Ilyas akan diberi kesempatan untuk berhenti mengajar. Beliau pun akhirnya pergi ke Nizamuddin, ke madarasah warisan ayahnya yang kosong akibat lama tidak dihuni. Dengan semangat mengajar yang tinggi beliaupun akhirnya membuka kembali madrasah tersebut.Kerana semangat yang tinggi untuk memajukan agama, beliaupun mendirikan Maktab di Mewat, tetapi keadaan sekitar dan suasana menyebabkan masyarakatnya lebih menyukai anak-anak mereka pergi ke kebun atau ke sawah daripada ke Madrasah atau Maktab untuk belajar agama, membaca atau menulis. Oleh yang demikian, Maulana Ilyas terpaksa meminta orang Mewat untuk menyiapkan anak-anak mereka untuk belajar dengan pembiayaan yang akan ditanggung oleh Maulana sendiri.
Besarnya pengorbanan Maulana hanya untuk memajukan pendidikan agama bagi masyarakat Mewat tidak mendapatkan perhatian. Bahkan mereka enggan menuntut ilmu, mereka senang hidup dalam keadaan yang sudah mereka jalani selama bertahun-tahun turun temurun. Beliau melihat bahawa kejahilan, kegelapan dan sekularisme yang melanda negerinya sangat berpengaruh terhadap madrasah-madrasah. Para murid tidak mampu menjunjung nilai-nilai agama sebagaimana yang sepatutnya, sehingga gelombang kejahilan semakin melanda bagaikan gelombang lautan yang meluru deras sehingga ratusan mil membawa mereka hanyut. Tetapi, masyarakat tetap masih belum memiliki semangat agama. Kebanyakan mereka tidak begitu berminat untuk mengirimkan anak-anak mereka untuk belajar ilmu di Madrasah. Hal ini disebabkan mereka tidak tahu pentingnya ilmu agama, mereka pun tidak menaruh hormat pada lulusan Madrasah yang telah memberikan penerangan dan dakwah. Orang Mewat pun tidak mahu mendengar apatah lagi untuk mengikutinya. Madrasah-madrasah yang ada itu masih tidak mampu mengubah warna dan gaya hidup masyarakat .
Melihat keadaan Mewat yang sangat jahil itu semakin menambah kerisauan beliau akan keadaan umat Islam terutama masyarakat Mewat. Kunjungan-kunjungan diadakan bahkan madrasah-madrasah banyak didirikan, tetapi hal itu belum dapat mengatasi masalah yang dihadapi masyarakat Mewat.
Dengan izin Allah timbullah keinginannya untuk mengirimkan jama’ah dakwah ke Mewat. Pada tahun 1351 H/1931 M, beliau menunaikan haji yang ketiga ke tanah suci Makkah. Kesempatan tersebut dipergunakannya untuk menemui tokoh-tokoh India yang ada di Arab untuk memperenalkan usaha dakwah dan dengan harapan agar usaha ini dapat terus dijalankan di tanah Arab. Keinginannya yang besar menyebabkan beliau berkesempatan menemui Sultan Ibnu Sa’ud yang menjadi raja tanah Arab untuk mengenalkan usaha mulia yang dibawanya. Selama di tanah Makkah Jama’ah bergerak setiap hari dari pagi sampai petang, usaha dakwah terus dilakukan untuk mengajak orang taat kepada perintah Allah dan menegakkan dakwah.Setelah pulang dari haji tersebut, Maulana mengadakan dua kunjungan ke Mewat, masing-masing disertai jama’ah dengan jumlah yang cukup besar, paling sedikit seratus orang. Bahkan di beberapa tempat jumlah itu semakin meningkat. Kunjungan pertama dilakukan selama satu bulan dan kunjungan ke dua dilakukan hanya beberapa hari saja. Dalam kunjungan tersebut beliau selalu membentuk jama’ah-jama’ah yang dikirimkan ke kampung-kampung untuk berjaulah (berkeliling dari rumah ke rumah) guna menyampaikan pentingnya agama . Beliau sepenuhnya yakin bahwa kejahilan, kelalaian serta hilangnya semangat agama dan jiwa keislaman itulah yang menjadi sumber kerosakan.
Adapun satu-satu jalan adalah memujuk orang-orang Mewat agar keluar dari kampung halamannya untuk memperbaiki diri dan belajar agama, serta melatih kebiasaan-kebiasaan yang baik sehingga tumbuh kesadarannya untuk mencintai agama lebih daripada dunia dan mementingkan amal dari mal (harta). Dari Mewat inilah secara beransur-ansur usaha tabligh meluas ke Delhi, United Province, Punjab, Khurja, Aligarh, Agra, Bulandshar, Meerut, Panipat, Sonepat, Karnal, Rohtak dan daerah lainnya. Begitu juga di bandar-bandar pelabuhan banyak jama’ah yang tinggal dan terus bergerak menuju tempat-tempat yang ditujukan sepeti halnya daerah Asia Barat .
Terbentuknya jama’ah ini adalah dengan izin Allah melalui asbab kerisauan Maulana Muhammad Ilyas, menyebarlah jama’ah-jama’ah yang membawa misi berganda yaitu islah diri (perbaikan diri sendiri) dan mendakwahkan kebesaran Allah SWT kepada seluruh umat manusia. Perkembangan jama’ah ini semakin hari semakin ketara. Banyak jama’ah yang dihantar dari tempat-tempat yang dikunjungi jama’ah pun ada yang kemudian membentuk rombongan jama’ah baru sehingga silaturrahim antara kaum muslimin dengan muslim yang lain dapat terwujud. Gerakan jama’ah tidak hanya tersebar di India tetapi sedikit demi sedikit telah menyebar ke barbagai negara.
Hanya kekuasaan Allah yang dapat memakmurkan dan membesarkan usaha ini.Kerisauan akan keadaan umat semakin bertambah, jama’ah-jama’ah banyak dibentuk dan dihantar ke pelosok jazirah. Sehingga dengan izin Allah usaha ini pun semakin meluas. Maulana Muhammad Ilyas tanpa henti terus memberi dorongan dan arahan ilmu dan pemikirannya untuk menjalankan usaha dakwah ini agar sampai ke seluruh alam. Dalam keadaan umur yang tua, Maulana terus bersemangat hingga tubuhnya yang kurus tidak mampu lagi untuk digerakkan ketika beliau menderita sakit.
Pada hari terakhir dalam sejarah hidupnya Maulana mengirim utusan kepada Syaikhul Hadits Maulana Zakariya, Maulana Abdul Qodir Raipuri, dan Maulana Zafar Ahmad, bahwa beliau akan mengamanahkan kepercayaan sebagai amir jama’ah kepada sahabat-sahabatnya seperti Hafidz Maqbul Hasan, Qozi Dawud, Mulvi Ihtisamul Hasan, Mulvi Muhammad Yusuf, Mulvi Inamul Hasan, Mulvi Sayyid Raza Hasan. Pada saat itu terpilihlah Mulvi Muhammad Yusuf sebagai pengganti Maulana Muhammad Ilyas dalam memimpin usaha dakwah dan tabligh .Pada sekitar bulan Julai 1944 beliau jatuh sakit yang cukup parah, beliau hanya berbaring di tempat tidur dengan ditemani para pembantu dan muridnya. Keadaan tubuhnya yang telah lemah merupakan bukti nyata bahwa beliau bersungguh-sungguh menghabiskan waktu berdakwah Khuruj Fi Sabilillah mengembara dari satu tempat ke tempat lain bersama dengan jama’ah untuk mendakwahkan kebesaran Allah dan kalimat Laa Ilaaha Illallah Muhammad Rasulullah.
Pada tanggal 13 Julai 1944, Maulana telah siap untuk menempuh perjalanannya yang terakhir. Beliau bertanya kepada salah seorang yang hadir, “apakah besok hari Khamis?”, yang di sekelilingnya menjawab,”Benar”, kemudian beliau berkata lagi, “Periksalah pakaianku, apakah ada najisnya atau tidak”, yang disekelilingnya berkata bahwa pakaian yang dikenakannya masih dalam keadaan suci. Kemudian beliau turun dari tempat pembaringan, berwudhu dan mengerjakan solat Isyak dengan berjama’ah. Beliau berpesan kepada orang-orang agar memperbanyak zikir dan do’a pada malam itu. Beliau berkata,”Yang ada di sekelilingku ini pada hari ini hendaklah menjadi orang-orang yang dapat membezakan antara perbuatan syaitan dan perbuatan malaikat Allah”.
Pada pukul 12 malam beliau pengsan dan sangat gelisah, doktor segera dipanggil dan ubat pun segera diberikan, kata-kata "Allahu Akbar" terus keluar dari mulutnya ketika malam telah menjelang pagi, beliau mencari anaknya Maulana Muhammad Yusuf dan Maulana Ikromul Hasan. Ketika dipertemukan beliau berkata, "kemarilah kalian, aku ingin memeluk, tidak ada lagi waktu setelah ini, sesungguhnya aku akan pergi”.
Akhirnya Maulana menghembuskan nafas terakhirnya, beliau pulang ke Rahmatullah sebelum azan Shubuh. Seorang pengembara yang amat lelah yang mungkin tidak pernah tidur dengan tenang, kini sampai ke tempat tujuannya. .Beliau tidak banyak meninggalkan karya-karya tulisan tentang kerisauannya akan keadaan umat.

Buah fikiran beliau dicurahkan dalam lembar-lembar kertas surat yang dihimpun oleh Maulana Manzoor Nu’mani dengan judul Aur Un Ki Deeni Dawat yang ditujukan kepada para ulama dan seluruh umat Islam yang mengambil usaha dakwah ini. Karya beliau yang paling nyata adalah beliau telah meninggalkan kerisuaan dan fikir atas umat Islam hari ini serta metod kerja dakwahnya yang atas izin Allah SWT telah menyebar ke seluruh pelosok dunia. Orang-orang yang mengetahui keadaan umat, Insya Allah akan mengambil jalan dakwah ini sebagai penawar dan ubat hatinya, dan akan menjadi sebab hadirnya hidayah bagi dirinya dan orang lain.

Prinsip dan Usaha Membangun Tradisi Dakwah
Dakwah merupakan masalah yang paling penting dalam mengembalikan kejayaan umat Islam. Kesan dakwah pada saat ini tidaklah sepenting yang digariskan, dan seakan sudah tidak ada lagi dalam fikiran orang-orang Islam yang hidup pada zaman ini. Orang-orang Islam mungkin lupa bahwa risalah kenabian dan kerasulan telah ditutup oleh Allah SWT. Sementara agama Islam yang menjadi jalan keselamatan harus sampai kepada generasi terakhir umat manusia yang tidak seorangpun mengetahui bila berakhirnya. Sering diungkapkan dalam riwayat-riwayat tentang penyakit umat-umat nabi terdahulu yang pada saat ini dapat kita lihat sendiri.
Maka menjadi tugas umat Islam sebagai pewaris tugas kenabian untuk mendakwahkan agama Allah SWT hingga generasi terakhir dari peradaban manusia.Dalam pandangan Maulana Muhammad Ilyas dakwah merupakan kewajiban umat Nabi Muhammad saw. Pada prinsipnya setiap orang yang mengaku mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW tentulah memiliki kewajiban mendakwahkan ajarannya, yaitu agar selalu taat kepada Allah dengan cara yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah SAW. Menjadikan dakwah sebagai maksud hidup untuk mencapai puncak pengorbanan merupakan tujuan yang harus dicapai setiap individu pendakwah yang mengerti keadaan umat Islam saat ini. Sebagaimana halnya para sahabat nabi yang dalam riwayat banyak dikisahkan tentang pengorbanan mereka terhadap agama Allah SWT, sehingga Allah memberikan kemulian dan kesempurnaan amal agama dan kehidupan yang tidak hanya berfokus pada ibadah semata melainkan mencakupi semua bidang kehidupan berupa politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Pada awal perkembangannya yang sedemikian terbatas, Islam mampu menguasai belahan dunia pada saat itu dengan menundukkan Romawi dan Parsi serta menyebarkan ilmu pengetahuan ke seluruh belahan dunia. Hal ini merupakan bukti tentang besar dan megahnya Islam dengan generasi yang berpegang teguh pada ajarannya. Hal inilah yang dikehendaki Maulana agar dapat diwujudkan kembali di kalangan umat Islam. Maulana menghabiskan masa hidupnya untuk berdakwah, mengajarkan prinsip dakwah yang hakiki yakni bahwa setiap diri yang mengaku sebagai umat Islam mempunyai kewajiban berdakwah, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.

Dalam salah satu suratnya yang ditujukan pada Syaikh Muhammad Zakariya, beliau menulis: "Aku ingin agar fikiran, hari, kekuatan dan waktuku hanya aku gunakan demi cita-citaku ini saja. Bagaimana aku dapat bekerja selain dari kerja dakwah dan tabligh, sedangkan aku melihat ruh Nabi SAW bersedih akibat perilaku buruk umatnya, lemah agama dan aqidah, merosot, dan hina serta tidak adanya kejayaan bahkan telah lama digilas kekufuran". Kerisauan yang mendalam akan keadaan umat inilah yang menyebabkan beliau berkeinginan kuat untuk terus berdakwah mengajak orang taat kepada Allah dan menyampaikan kebesaran Allah dengan manifestasi menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Melalui segala macam usaha yang dilakukan oleh beliau dengan fikiran dan kerisauan akhirnya terbentuklah jama’ah-jama’ah yang berkeinginan mendakwahkan kembali ajaran Nabi Muhammad saw kepada umatnya.Membebankan kewajiban bertabligh (amar ma’ruf nahi munkar) semata-mata pada kalangan ulama adalah sebagai tanda adanya kebodohan pada diri kita. Tugas ulama adalah mengajarkan ilmu dan menunjukkan jalan yang benar akan pemahaman terhadap agama. Sedangkan memerintahkan berbuat kebajikan di antara khalayak dan mengusahakan supaya mereka menuju jalan yang benar adalah tanggung jawab semua orang Islam . Sementara Dr. Sayyid Muhammad Nuh dalam tulisannya menegaskan: Laju perjalanan umat Islam saat ini jauh tertinggal di belakang, setelah sebelumnya berada di barisan paling depan.
Banyak sebab yang menjadikan kaum muslimin dalam keadaan seperti ini, di antara sebab utama adalah meninggalkan kewajiban dakwah, amar ma’ruf nahi munkar dan jihad fi Sabilillah. Semua ini berangkat dari kesalahan persepsi umat dalam memandang kewajiban ini. Masih banyak yang memahami bahawa dakwah adalah kewajiban ulama saja, terbatas dalam bentuk ceramah, khutbah dan mau’idzhah saja. Sementara itu, sebahagian dari mereka ada yang memahami dakwah ini merupakan kewajiban yang berlaku atas setiap individu muslim, namun mereka melakukannya tanpa disertai pemahan yang baik terhadap manhaj dakwah nabawiyah dan rambu-rambu Al-Qur’an .
Jauh sebelum itu Maulana Muhammad Ilyas telah memikirkan keadaan ini, sehingga keinginannya yang telah bersatu dengan kerisauannya akan keadaan umat Islam yang dilihatnya, membuatnya mencurahkan hidupnya untuk kerja dakwah. Bahkan Maulana Muhammad Ilyas mulai membangun tradisi dakwah yang ia mulai dengan membentuk jama’ah-jama’ah dakwah yang dihantar ke tempat-tempat tertentu, bahkan dipimpin langsung oleh beliau. Dengan tenaga dan kerisauan yang ada beliau berusaha mengenalkan kewajiban dakwah pada umat Islam dan membangun tradisi tersebut agar semua dapat melaksanakan jalan dakwah ini.Membangun tradisi dakwah diantara keadaan umat yang jauh dari agama, seperti di Mewat tidaklah semudah yang dibayangkan.
Dalam keadaan yang penuh dengan kesesatan dan kejahilan masyarakat, Maulana Muhammad Ilyas terpanggil untuk mengajak mereka kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Terlebih lagi masyarakat yang masih kuat memegang syariat agama. Beliau sangat menyadari bahawa Rasulullah bukanlah orang yang mementingkan diri sendiri, beliau selalu memikirkan umatnya, merisaukan keadaan umatnya di kemudian hari. Sehingga dalam riwayat di beritakan bahwa ketika ajal beliau datang, dengan tersekat-sekat masih menyebut umatnya. Fikiran itulah yang selalu muncul dalam benak Maulana, bahwa dakwah hari ini adalah bagaimana mengajak umat kembali kepada jalan Allah dan Rasulnya.Berdasarkan pengalaman dan pemikiran yang panjang, Maulana melihat bahawa para petani Mewat yang miskin tidak mungkin dapat meluangkan waktunya untuk belajar agama, sedangkan mereka masih berada di tengah-tengah lingkungan dengan segala kesibukannya. Bahkan dalam jangka waktu yang pendek yang dapat mereka berikan itu, tidak dapat diharapkan agar mereka dapat memperoleh kesan yang dalam dari ajaran-ajaran agama yang telah mereka peroleh, serta memiliki semangat agama sebagaimana yang diharapkan yang dapat mengubah cara hidup mereka. Sesungguhnya tidak mungkin meminta mereka supaya semuanya untuk ke madrasah. Namun juga tidak tepat berangan-angan bahwa hanya dengan sekadar nasihat dan ceramah akan mengubah kehidupan mereka dari cara-cara jahiliyah kepada cara-cara Islam, baik dalam perangai, tradisi, maupun pola berfikir .
Peranan Maulana Muhammad Ilyas dalam menggerakkan masyarakat Mewat yang jahiliyah itu menyebabkan tumbuhnya suasana agama yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Suasana agama inilah yang diperlukan guna menstimulasi berkembangnya masyarakat yang Islami yang mengikuti kehidupan rasul dan para sahabat. Jama’ah-jama’ah dari masyarakat pun dibentuk untuk dikirim ke beberapa tempat agar dapat memperbaiki diri dalam suasana agama, dengan perbekalan seadanya dan semangat untuk menyebarkan dan mensuasanakan agama. Datangnya Ramadhan dan cahayanya telah menyinari hati manusia, Maulana Ilyas pun meminta para sahabatnya agar menyiapkan jama’ah untuk dikirim ke Kandhla. Padahal mereka tahu bahwa Kandhla merupakan pusat ilmu dan banyak terdapat rohaniawan. Tentu saja mereka berkeberatan untuk menyampaikan seruan agama tersebut. Apalagi jama’ah itu adalah orang-orang yang jahil, sungguh ini merupakan suatu yang aneh. Namun akhirnya terbentuklah jama’ah yang terdiri dari sepuluh orang Mewat yang dipimpin oleh Hafidzh Maqbul Hasan.
Jama’ah ini bertolak dari Delhi menuju ke Kandhla setelah hari raya. Jama’ah mendapatkan sambutan yang menyenangkan .Jama’ah pertama yang dikirim menyebabkan bertambahnya semangat beliau dalam membangun tradisi dakwah di kalangan masyarakat. Daerah-daerah lain pun mulai difikirkannya. Gerak jama’ah sangat penting ertinya bagi upaya mengubah pola hidup masyarakat. Bagaimanapun keadaannya, beliau tetap berharap dapat mengirimkan jama’ah-jama’ah serupa ke berbagai tempat lainnya. Jama’ah kedua dikirim ke Raipur, kemudian mengadakan ijtima’ (berkumpul) di Chatora hingga terbentuk jama’ah lagi hingga dikirim ke Sonepar, Panipat, dan daerah sekitarnya. Begitulah perkembangan yang terjadi di daerah Mewat dan sekitarnya.Beliau sepenuhnya meyakini bahwa kejahilan, kelalaian serta hilangnya semangat agama dan jiwa keislaman itulah yang menjadi sumber kerosakan. Adapun satu-satunya jalan keluar adalah memujuk orang-orang Mewat supaya keluar (dari kampung halamannya) guna memperbaiki diri, belajar agama, dan melatih kebiasaan yang baik hingga tumbuh kesadarannya untuk lebih mencintai agama daripada dunia, dan mementingkan amal daripada mal (harta) .
Maulana bercita-cita mewujudkan satu generasi yang benar-benar mau berkorban untuk agama, seperti berkorbannya para sahabat dahulu. Jika sehari-hari mereka berkorban waktu, harta, dan diri mereka untuk keduniaan, maka mereka pun harus berusaha untuk berkorban dengan diri, harta dan waktu mereka untuk agama. Menjadi hal yang biasa bahawa segala sesuatu yang diperoleh melalui pengorbanan akan sangat dicintai.Lambat laun suasana di Mewat semakin berubah. Bahkan perubahan tersebut makin tampak pada cara hidup dan tradisi mereka. Mewat menjadi tanah gembur dan subur yang apabila tanaman dakwah Islamiyah dan pengajaran hukum-hukum agama ditanamkan akan tumbuh, berkembang dan berbuah di tempat tersebut . Perkembangan yang terjadi di Mewat adalah perkembangan yang mengesankan, Mewat yang pada mulanya dilingkupi jahiliyah kini telah berubah menjadi pusat dakwah dan siar agama. Usaha Maulana Muhammad Ilyas yang pertama adalah menanamkan iman dan keyakinan yang benar terhadap Allah SWT dengan cara yang telah dicontohkan Rasulullah SAW. Kemudian beliau menyampaikan keutamaan-keutamaan beramal dan kerugian meninggalkannya serta mengajak umat Islam untuk berkorban, meletakkan diri, harta dan waktunya di jalan Allah.
Sampai akhir hayatnya beliau tetap mencurahkan perhatiannya pada usaha dakwah ini. Bahkan setelah berkembang di India, usaha dakwah ini berkembang ke seluruh dunia. Hingga saat ini negara-negara di beberapa berlahan benua telah memiliki amal jama’ah dakwah. Mereka terus bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mengajak manusia kembali kepada tugas utama sebagai hamba Allah yang sudah seharusnya mengabdikan diri dengan segenap jiwa dan raga serta sebagai umat Nabi yang terakhir Muhammad saw yang mempunyai tugas dakwah beramar ma’ruf nahi munkar.
[1]Riwayat Hidup maulana Muhammad Ilyas diambil dari buku karangan Sayyid Abul Hasan Ali-Nadwi, (1999), Riwayat Hidup Dan Usaha Dakwah Maulana Muhammad Ilyas, Yogyakarta: Ash-Shaff, hlm. 5-18
[2]lihat, H.A. Hafizh Dasuki (et al), (1993), Ensiklopedi Islam Vol. S1-1, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, hlm. 266
[3]Kutubus Sittah berarti kitab yang enam yaitu kitab-kitab hadits yang telah dijadikan standard para ulama dan kaum muslimin untuk menjadi hujjah bagi persoalan-persoalan agama diantaranya adalah Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majjah.
[4]Infiradi berasal dari kata faroda yang dalam bahasa arab berarti sendiri, yang dimaksudkan adalah beramal secara sendiri atau tidak berjama’ah
[5]Sayyid Abul Hasan Ali Nadwi, op. cit., hlm. 14
[6]Sayyid Abul Hasan Ali An-Nadwi, op. cit., hlm. 39-40
[7]Ibid, hlm. 43-44
[8]Tutus Hendrato, op. cit., hlm. 22-23
[9]Ibid, hlm. 24
[10]Sayyid Abul hasan Ali- Nadwi, op. cit., hlm. 127-128
[11]Ibid, hlm. 145
[12]Maulana Ihtisamul Hasan Kandhalawi, (1998), Keruntuhan Umat Islam Dan Cara Mengatasinya, Yogyakarta: Ash-Shaff, hlm. 23
[13]Sayyid Muhammad Nuh, (1996), Dakwah Fardiyah, Dalam Manhaj Amal Islami, Solo: Citra Islami Press, hlm. 9
[14]Sayyid Abul Hasan Ali-Nadwi, loc. cit., hlm 44
[15]Ibid, hlm. 47
[16] Sayyid Abul Hasan Ali-Nadwi, op. cit., 45-46
[17]Ibid, hlm. 51
 Abu Aqil  10.03

Kamis, 03 Februari 2011

Fudhail bin Iyath


Beliau dilahirkan di Samarqand dan dibesarkan di Abi Warda, suatu tempat di daerah Khurasan.
Tidak ada riwayat yang jelas tentang kapan beliau dilahirkan, hanya saja beliau pernah menyatakan usianya waktu itu telah mencapai 80 tahun, dan tidak ada gambaran yang pasti tentang permulaan kehidupan beliau.
Sebagian riwayat ada yang menyebutkan bahwa dulunya beliau adalah seorang penyamun, kemudian Allah memberikan petunjuk kepada beliau dengan sebab mendengar sebuah ayat dari Kitabullah.
Disebutkan dalam Siyar A’lam An-Nubala dari jalan Al-Fadhl bin Musa, beliau berkata: “Adalah Al-Fudhail bin ‘Iyadh dulunya seorang penyamun yang menghadang orang-orang di daerah antara Abu Warda dan Sirjis. Dan sebab taubat beliau adalah karena beliau pernah terpikat dengan seorang wanita, maka tatkala beliau tengah memanjat tembok guna melaksanakan hasratnya terhadap wanita tersebut, tiba-tiba saja beliau mendengar seseorang membaca ayat:

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِيْنَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوْبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ وَماَ نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلاَ يَكُوْنُوا كَالَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتاَبَ مِنْ قَبْلُ فَطاَلَ عَلَيْهِمُ اْلأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوْبُهُمْ وَكَثِيْرٌ مِنْهُمْ فاَسِقُوْنَ
“Belumkah datang waktunya bagi orang –orang yang beriman untuk tunduk hati mereka guna mengingat Allah serta tunduk kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang –orang yang sebelumnya telah turun Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras, dan mayoritas mereka adalah orang-orang yang fasiq.” (Al Hadid: 16)
Maka tatkala mendengarnya beliau langsung berkata: “Tentu saja wahai Rabbku. Sungguh telah tiba saatku (untuk bertaubat).” Maka beliaupun kembali, dan pada malam itu ketika beliau tengah berlindung di balik reruntuhan bangunan, tiba-tiba saja di sana ada sekelompok orang yang sedang lewat. Sebagian mereka berkata: “Kita jalan terus,” dan sebagian yang lain berkata: “Kita jalan terus sampai pagi, karena biasanya Al-Fudhail menghadang kita di jalan ini.” Maka beliaupun berkata: “Kemudian aku merenung dan berkata: ‘Aku menjalani kemaksiatan-kemaksiatan di malam hari dan sebagian dari kaum muslimin di situ ketakutan kepadaku, dan tidaklah Allah menggiringku kepada mereka ini melainkan agar aku berhenti (dari kemaksiatan ini). Ya Allah, sungguh aku telah bertaubat kepada-Mu dan aku jadikan taubatku itu dengan tinggal di Baitul Haram’.”
Sungguh beliau telah menghabiskan satu masa di Kufah, lalu mencatat ilmu dari ulama di negeri itu, seperti Manshur, Al-A’masy, ‘Atha’ bin As-Saaib serta Shafwan bin Salim dan juga dari ulama-ulama lainnya. Kemudian beliau menetap di Makkah. Dan adalah beliau memberi makan dirinya dan keluarganya dari hasil mengurus air di Makkah. Waktu itu beliau memiliki seekor unta yang beliau gunakan untuk mengangkut air dan menjual air tersebut guna memenuhi kebutuhan makanan beliau dan keluarganya.
Beliau tidak mau menerima pemberian-pemberian dan juga hadiah-hadiah dari para raja dan pejabat lainnya, namun beliau pernah menerima pemberian dari Abdullah bin Al-Mubarak.
Dan sebab dari penolakan beliau terhadap pemberian-pemberian para raja diduga karena keraguan beliau terhadap kehalalannya, sedang beliau sangat antusias agar tidak sampai memasuki perut beliau kecuali sesuatu yang halal.
Beliau wafat di Makkah pada bulan Muharram tahun 187 H.

Imam Bukhari


Buta di masa kecilnya.
Keliling dunia mencari ilmu.
Menghafal ratusan ribu hadits.
Karyanya menjadi rujukan utama setelah Al Qur’an.

Lahir di Bukhara pada bulan Syawal tahun 194 H. Dipanggil dengan Abu Abdillah. Nama lengkap beliau Muhammmad bin Islmail bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari Al Ju’fi. Beliau digelari Al Imam Al Hafizh, dan lebih dikenal dengan sebutan Al Imam Al Bukhari.
Buyut beliau, Al Mughirah, semula beragama Majusi (Zoroaster), kemudian masuk Islam lewat perantaraan gubernur Bukhara yang bernama Al Yaman Al Ju’fi. Sedang ayah beliau, Ismail bin Al Mughirah, seorang tokoh yang tekun dan ulet dalam menuntut ilmu, sempat mendengar ketenaran Al Imam Malik bin Anas dalam bidang keilmuan, pernah berjumpa dengan Hammad bin Zaid, dan pernah berjabatan tangan dengan Abdullah bin Al Mubarak.
Sewaktu kecil Al Imam Al Bukhari buta kedua matanya. Pada suatu malam ibu beliau bermimpi melihat Nabi Ibrahim Al Khalil ‘Alaihissalaam yang mengatakan, “Hai Fulanah (yang beliau maksud adalah ibu Al Imam Al Bukhari, pent), sesungguhnya Allah telah mengembalikan penglihatan kedua mata putramu karena seringnya engkau berdoa”. Ternyata pada pagi harinya sang ibu menyaksikan bahwa Allah telah mengembalikan penglihatan kedua mata putranya.

Ketika berusia sepuluh tahun, Al Imam Al Bukhari mulai menuntut ilmu, beliau melakukan pengembaraan ke Balkh, Naisabur, Rayy, Baghdad, Bashrah, Kufah, Makkah, Mesir, dan Syam.
Guru-guru beliau banyak sekali jumlahnya. Di antara mereka yang sangat terkenal adalah Abu ‘Ashim An-Nabiil, Al Anshari, Makki bin Ibrahim, Ubaidaillah bin Musa, Abu Al Mughirah, ‘Abdan bin ‘Utsman, ‘Ali bin Al Hasan bin Syaqiq, Shadaqah bin Al Fadhl, Abdurrahman bin Hammad Asy-Syu’aisi, Muhammad bin ‘Ar’arah, Hajjaj bin Minhaal, Badal bin Al Muhabbir, Abdullah bin Raja’, Khalid bin Makhlad, Thalq bin Ghannaam, Abdurrahman Al Muqri’, Khallad bin Yahya, Abdul ‘Azizi Al Uwaisi, Abu Al Yaman, ‘Ali bin Al Madini, Ishaq bin Rahawaih, Nu’aim bin Hammad, Al Imam Ahmad bin Hanbal, dan sederet imam dan ulama ahlul hadits lainnya.

Murid-murid beliau tak terhitung jumlahnya. Di antara mereka yang paling terkenal adalah Al Imam Muslim bin Al Hajjaj An Naisaburi, penyusun kitab Shahih Muslim.
Al Imam Al Bukhari sangat terkenal kecerdasannya dan kekuatan hafalannya. Beliau pernah berkata, “Saya hafal seratus ribu hadits shahih, dan saya juga hafal dua ratus ribu hadits yang tidak shahih”. Pada kesempatan yang lain belau berkata, “Setiap hadits yang saya hafal, pasti dapat saya sebutkan sanad (rangkaian perawi-perawi)-nya”.

Beliau juga pernah ditanya oleh Muhamad bin Abu Hatim Al Warraaq, “Apakah engkau hafal sanad dan matan setiap hadits yang engkau masukkan ke dalam kitab yang engkau susun (maksudnya : kitab Shahih Bukhari, pent.)?” Beliau menjawab, ”Semua hadits yang saya masukkan ke dalam kitab yang saya susun itu sedikit pun tidak ada yang samar bagi saya”.
Anugerah Allah kepada Al Imam Al Bukhari berupa reputasi di bidang hadits telah mencapai puncaknya. Tidak mengherankan jika para ulama dan para imam yang hidup sezaman dengannya memberikan pujian (rekomendasi) terhadap beliau. Berikut ini adalah sederet pujian (rekomendasi) termaksud.
Muhammad bin Abi Hatim berkata, “Saya mendengar Ibrahim bin Khalid Al Marwazi berkata, “Saya melihat Abu Ammar Al Husein bin Harits memuji Abu Abdillah Al Bukhari, lalu beliau berkata, “Saya tidak pernah melihat orang seperti dia. Seolah-olah dia diciptakan oleh Allah hanya untuk hadits”.
Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah berkata, “Saya tidak pernah meliahat di kolong langit seseorang yang lebih mengetahui dan lebih kuat hafalannya tentang hadits Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam dari pada Muhammad bin Ismail (Al Bukhari).”

Muhammad bin Abi Hatim berkata, “ Saya mendengar Abu Abdillah (Al Imam Al Bukhari) berkata, “Para sahabat ‘Amr bin ‘Ali Al Fallaas pernah meminta penjelasan kepada saya tentang status (kedudukan) sebuah hadits. Saya katakan kepada mereka, “Saya tidak mengetahui status (kedudukan) hadits tersebut”. Mereka jadi gembira dengan sebab mendengar ucapanku, dan mereka segera bergerak menuju ‘Amr. Lalu mereka menceriterakan peristiwa itu kepada ‘Amr. ‘Amr berkata kepada mereka, “Hadits yang status (kedudukannya) tidak diketahui oleh Muhammad bin Ismail bukanlah hadits”.
Al Imam Al Bukhari mempunyai karya besar di bidang hadits yaitu kitab beliau yang diberi judul Al Jami’ atau disebut juga Ash-Shahih atau Shahih Al Bukhari. Para ulama menilai bahwa kitab Shahih Al Bukhari ini merupakan kitab yang paling shahih setelah kitab suci Al Quran.

Hubungannya dengan kitab tersebut, ada seorang ulama besar ahli fikih, yaitu Abu Zaid Al Marwazi menuturkan, “Suatu ketika saya tertidur pada sebuah tempat (dekat Ka’bah –ed) di antara Rukun Yamani dan Maqam Ibrahim. Di dalam tidur saya bermimpi melihat Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam. Beliau berkata kepada saya, “Hai Abu Zaid, sampai kapan engaku mempelajari kitab Asy-Syafi’i, sementara engkau tidak mempelajari kitabku? Saya berkata, “Wahai Baginda Rasulullah, kitab apa yang Baginda maksud?” Rasulullah menjawab, “ Kitab Jami’ karya Muhammad bin Ismail”.
Karya Al Imam Al Bukhari yang lain yang terkenal adalah kita At-Tarikh yang berisi tentang hal-ihwal para sahabat dan tabi’in serta ucapan-ucapan (pendapat-pendapat) mereka. Di bidang akhlak belau menyusun kitab Al Adab Al Mufrad. Dan di bidang akidah beliau menyusun kitab Khalqu Af’aal Al Ibaad.

Ketakwaan dan keshalihan Al Imam Al Bukhari merupakan sisi lain yang tak pantas dilupakan. Berikut ini diketengahkan beberapa pernyataan para ulama tentang ketakwaan dan keshalihan beliau agar dapat dijadikan teladan.
Abu Bakar bin Munir berkata, “Saya mendengar Abu Abdillah Al Bukhari berkata, “Saya berharap bahwa ketika saya berjumpa Allah, saya tidak dihisab dalam keadaan menanggung dosa ghibah (menggunjing orang lain).”
Abdullah bin Sa’id bin Ja’far berkata, “Saya mendengar para ulama di Bashrah mengatakan, “Tidak pernah kami jumpai di dunia ini orang seperti Muhammad bin Ismail dalam hal ma’rifah (keilmuan) dan keshalihan”.
Sulaim berkata, “Saya tidak pernah melihat dengan mata kepala saya sendiri semenjak enam puluh tahun orang yang lebih dalam pemahamannya tentang ajaran Islam, leblih wara’ (takwa), dan lebih zuhud terhadap dunia daripada Muhammad bin Ismail.”

Al Firabri berkata, “Saya bermimpi melihat Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam di dalam tidur saya”. Beliau Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bertanya kepada saya, “Engkau hendak menuju ke mana?” Saya menjawab, “Hendak menuju ke tempat Muhammad bin Ismail Al Bukhari”. Beliau Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam berkata, “Sampaikan salamku kepadanya!”
Al Imam Al Bukhari wafat pada malam Idul Fithri tahun 256 H. ketika beliau mencapai usia enam puluh dua tahun. Jenazah beliau dikuburkan di Khartank, nama sebuah desa di Samarkand. Semoga Allah Ta’ala mencurahkan rahmat-Nya kepada Al Imam Al Bukhari.

Imam Syafi'i


Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Sesungguhnya Allah telah mentakdirkan pada setiap seratus tahun ada seseorang yang akan mengajarkan Sunnah dan akan menyingkirkan para pendusta terhadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Kami berpendapat pada seratus tahun yang pertama Allah mentakdirkan Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun berikutnya Allah menakdirkan Imam Asy-Syafi`i”.
NASAB BELIAU
Kunyah beliau Abu Abdillah, namanya Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syaafi’ bin As-Saai’b bin ‘Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al- Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pada Abdu Manaf, sedangkan Al-Muththalib adalah saudaranya Hasyim (bapaknya Abdul Muththalib).
TAHUN DAN TEMPAT KELAHIRAN
Beliau dilahirkan di desa Gaza, masuk kota ‘Asqolan pada tahun 150 H. Saat beliau dilahirkan ke dunia oleh ibunya yang tercinta, bapaknya tidak sempat membuainya, karena ajal Allah telah mendahuluinya dalam usia yang masih muda. Lalu setelah berumur dua tahun, paman dan ibunya membawa pindah ke kota kelahiran nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, Makkah Al Mukaramah.
PERTUMBUHANNYA
Beliau tumbuh dan berkembang di kota Makkah, di kota tersebut beliau ikut bergabung bersama teman-teman sebaya belajar memanah dengan tekun dan penuh semangat, sehingga kemampuannya mengungguli teman-teman lainnya. Beliau mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam bidang ini, hingga sepuluh anak panah yang dilemparkan, sembilan di antaranya tepat mengenai sasaran dan hanya satu yang meleset.
Setelah itu beliau mempelajari tata bahasa arab dan sya’ir sampai beliau memiliki kemampuan yang sangat menakjubkan dan menjadi orang yang terdepan dalam cabang ilmu tersebut. Kemudian tumbuhlah di dalam hatinya rasa cinta terhadap ilmu agama, maka beliaupun mempelajari dan menekuni serta mendalami ilmu yang agung tersebut, sehingga beliau menjadi pemimpin dan Imam atas orang-orang
KECERDASANNYA
Kecerdasan adalah anugerah dan karunia Allah yang diberikan kepada hambanya sebagai nikmat yang sangat besar. Di antara hal-hal yang menunjukkan kecerdasannya:
1. Kemampuannya menghafal Al-Qur’an di luar kepala pada usianya yang masih belia, tujuh tahun.
2. Cepatnya menghafal kitab Hadits Al Muwathta’ karya Imam Darul Hijrah, Imam Malik bin Anas pada usia sepuluh tahun.
3. Rekomendasi para ulama sezamannya atas kecerdasannya, hingga ada yang mengatakan bahwa ia belum pernah melihat manusia yang lebih cerdas dari Imam Asy-Syafi`i.
4. Beliau diberi wewenang berfatawa pada umur 15 tahun.
Muslim bin Khalid Az-Zanji berkata kepada Imam Asy-Syafi`i: “Berfatwalah wahai Abu Abdillah, sungguh demi Allah sekarang engkau telah berhak untuk berfatwa.”
MENUTUT ILMU
Beliau mengatakan tentang menuntut ilmu, “Menuntut ilmu lebih afdhal dari shalat sunnah.” Dan yang beliau dahulukan dalam belajar setelah hafal Al-Qur’an adalah membaca hadits. Beliau mengatakan, “Membaca hadits lebih baik dari pada shalat sunnah.” Karena itu, setelah hafal Al-Qur’an beliau belajar kitab hadits karya Imam Malik bin Anas kepada pengarangnya langsung pada usia yang masih belia.
GURU-GURU BELIAU
Beliau mengawali mengambil ilmu dari ulama-ulama yang berada di negerinya, di antara mereka adalah:
1. Muslim bin Khalid Az-Zanji mufti Makkah
2. Muhammad bin Syafi’ paman beliau sendiri
3. Abbas kakeknya Imam Asy-Syafi`i
4. Sufyan bin Uyainah
5. Fudhail bin Iyadl, serta beberapa ulama yang lain.
Demikian juga beliau mengambil ilmu dari ulama-ulama Madinah di antara mereka adalah:
1. Malik bin Anas
2. Ibrahim bin Abu Yahya Al Aslamy Al Madany
3.Abdul Aziz Ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Ismail bin Ja’far dan Ibrahim bin Sa’ad serta para ulama yang berada pada tingkatannya
Beliau juga mengambil ilmu dari ulama-ulama negeri Yaman di antaranya;
1.Mutharrif bin Mazin
2.Hisyam bin Yusuf Al Qadhi, dan sejumlah ulama lainnya.
Dan di Baghdad beliau mengambil ilmu dari:
1.Muhammad bin Al Hasan, ulamanya bangsa Irak, beliau bermulazamah bersama ulama tersebut, dan mengambil darinya ilmu yang banyak.
2.Ismail bin Ulayah.
3.Abdulwahab Ats-Tsaqafy, serta yang lainnya.
MURID-MURID BELIAU
Beliau mempunyai banyak murid, yang umumnya menjadi tokoh dan pembesar ulama dan Imam umat islam, yang paling menonjol adalah:
1. Ahmad bin Hanbal, Ahli Hadits dan sekaligus juga Ahli Fiqih dan Imam Ahlus Sunnah dengan kesepakatan kaum muslimin.
2. Al-Hasan bin Muhammad Az-Za’farani
3. Ishaq bin Rahawaih,
4. Harmalah bin Yahya
5. Sulaiman bin Dawud Al Hasyimi
6. Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi dan lain-lainnya banyak sekali.
KARYA BELIAU
Beliau mewariskan kepada generasi berikutnya sebagaimana yang diwariskan oleh para nabi, yakni ilmu yang bermanfaat. Ilmu beliau banyak diriwayatkan oleh para murid- muridnya dan tersimpan rapi dalam berbagai disiplin ilmu. Bahkan beliau pelopor dalam menulis di bidang ilmu Ushul Fiqih, dengan karyanya yang monumental Risalah. Dan dalam bidang fiqih, beliau menulis kitab Al-Umm yang dikenal oleh semua orang, awamnya dan alimnya. Juga beliau menulis kitab Jima’ul Ilmi.
PUJIAN ULAMA PARA ULAMA KEPADA BELIAU
Benarlah sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam,
“Barangsiapa yang mencari ridha Allah meski dengan dibenci manusia, maka Allah akan ridha dan akhirnya manusia juga akan ridha kepadanya.” (HR. At-Tirmidzi 2419 dan dishashihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ 6097).
Begitulah keadaan para Imam Ahlus Sunnah, mereka menapaki kehidupan ini dengan menempatkan ridha Allah di hadapan mata mereka, meski harus dibenci oleh manusia. Namun keridhaan Allah akan mendatangkan berkah dan manfaat yang banyak. Imam Asy-Syafi`i yang berjalan dengan lurus di jalan-Nya, menuai pujian dan sanjungan dari orang-orang yang utama. Karena keutamaan hanyalah diketahui oleh orang-orang yang punya keutamaan pula.
Qutaibah bin Sa`id berkata: “Asy-Syafi`i adalah seorang Imam.” Beliau juga berkata, “Imam Ats-Tsauri wafat maka hilanglah wara’, Imam Asy-Syafi`i wafat maka matilah Sunnah dan apa bila Imam Ahmad bin Hambal wafat maka nampaklah kebid`ahan.”
Imam Asy-Syafi`i berkata, “Aku di Baghdad dijuluki sebagai Nashirus Sunnah (pembela Sunnah Rasulullah).”
Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Asy-Syafi`i adalah manusia yang paling fasih di zamannya.”
Ishaq bin Rahawaih berkata, “Tidak ada seorangpun yang berbicara dengan pendapatnya -kemudian beliau menyebutkan Ats-Tsauri, Al-Auzai, Malik, dan Abu Hanifah,- melainkan Imam Asy-Syafi`i adalah yang paling besar ittiba`nya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, dan paling sedikit kesalahannya.”
Abu Daud As-Sijistani berkata, “Aku tidak mengetahui pada Asy-Syafi`i satu ucapanpun yang salah.”
Ibrahim bin Abdul Thalib Al-Hafidz berkata, “Aku bertanya kepada Abu Qudamah As-Sarkhasi tentang Asy-Syafi`i, Ahmad, Abu Ubaid, dan Ibnu Ruhawaih. Maka ia berkata, “Asy-Syafi`i adalah yang paling faqih di antara mereka.”
PRINSIP AQIDAH BELIAU
Imam Asy-Syafi`i termasuk Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, beliau jauh dari pemahaman Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang menyimpang dalam aqidah, khususnya dalam masalah aqidah yang berkaitan dengan Asma dan Shifat Allah subahanahu wa Ta’ala.
Beliau tidak meyerupakan nama dan sifat Allah dengan nama dan sifat makhluk, juga tidak menyepadankan, tidak menghilangkannya dan juga tidak mentakwilnya. Tapi beliau mengatakan dalam masalah ini, bahwa Allah memiliki nama dan sifat sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an dan sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam kepada umatnya. Tidak boleh bagi seorang pun untuk menolaknya, karena Al-Qur’an telah turun dengannya (nama dan sifat Allah) dan juga telah ada riwayat yang shahih tentang hal itu. Jika ada yang menyelisihi demikian setelah tegaknya hujjah padanya maka dia kafir. Adapun jika belum tegak hujjah, maka dia dimaafkan dengan bodohnya. Karena ilmu tentang Asma dan Sifat Allah tidak dapat digapai dengan akal, teori dan pikiran. “Kami menetapkan sifat-sifat Allah dan kami meniadakan penyerupaan darinya sebagaimana Allah meniadakan dari diri-Nya. Allah berfirman,
“Tidak ada yang menyerupaiNya sesuatu pun, dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Dalam masalah Al-Qur’an, beliau Imam Asy-Syafi`i mengatakan, “Al-Qur’an adalah kalamulah, barangsiapa mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk maka dia telah kafir.”
PRINSIP DALAM FIQIH
Beliau berkata, “Semua perkataanku yang menyelisihi hadits yang shahih maka ambillah hadits yang shahih dan janganlah taqlid kepadaku.”
Beliau berkata, “Semua hadits yang shahih dari Nabi shalallahu a’laihi wassalam maka itu adalah pendapatku meski kalian tidak mendengarnya dariku.”
Beliau mengatakan, “Jika kalian dapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam maka ucapkanlah sunnah Rasulullah dan tinggalkan ucapanku.”
SIKAP IMAM ASY-SYAFI`I TERHADAP AHLUL BID’AH
Muhammad bin Daud berkata, “Pada masa Imam Asy-Syafi`i, tidak pernah terdengar sedikitpun beliau bicara tentang hawa, tidak juga dinisbatkan kepadanya dan tidakdikenal darinya, bahkan beliau benci kepada Ahlil Kalam dan Ahlil Bid’ah.”
Beliau bicara tentang Ahlil Bid’ah, seorang tokoh Jahmiyah, Ibrahim bin ‘Ulayyah, “Sesungguhnya Ibrahim bin ‘Ulayyah sesat.”
Imam Asy-Syafi`i juga mengatakan, “Menurutku, hukuman ahlil kalam dipukul dengan pelepah pohon kurma dan ditarik dengan unta lalu diarak keliling kampung seraya diteriaki, “Ini balasan orang yang meninggalkan kitab dan sunnah, dan beralih kepada ilmu kalam.”
PESAN IMAM ASY-SYAFI`I
“Ikutilah Ahli Hadits oleh kalian, karena mereka orang yang paling banyak benarnya.”
WAFAT BELIAU
Beliau wafat pada hari Kamis di awal bulan Sya’ban tahun 204 H dan umur beliau sekita 54 tahun (Siyar 10/76). Meski Allah memberi masa hidup beliau di dunia 54 tahun, menurut anggapan manusia, umur yang demikian termasuk masih muda. Walau demikian, keberkahan dan manfaatnya dirasakan kaum muslimin di seantero belahan dunia, hingga para ulama mengatakan, “Imam Asy-Syafi`i diberi umur pendek, namun Allah menggabungkan kecerdasannya dengan umurnya yang pendek.”
KATA-KATA HIKMAH IMAM ASY-SYAFI`I
“Kebaikan ada pada lima hal: kekayaan jiwa, menahan dari menyakiti orang lain, mencari rizki halal, taqwa dan tsiqqah kepada Allah. Ridha manusia adalah tujuan yang tidak mungkin dicapai, tidak ada jalan untuk selamat dari (omongan) manusia, wajib bagimu untuk konsisten dengan hal-hal yang bermanfaat bagimu”.
Sumber: Majalah As-Salaam

Imam Nawawi


Nama lengkapnya adalah Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi. Ia dilahirkan di Nawa, desa kecil yang berada di daerah Hauran, Syria, pada pertengahan Bulan Muharram tahun 631 H.
Imam Nawawi saat berumur 19 tahun diajak bapaknya ke Damaskus, lalu menetap di Madrasah ar-Rawahiyyah untuk menuntut ilmu. Dalam waktu empat bulan setengah, ia sudah hafal kitabat-Tanbih (kitab fiqih). Lima bulan setengah setelahnya dia hafal seperempat kitab al-Muhadzdzab.
Setelah itu, Imam Nawawi bersama bapaknya pergi melaksanakan ibadah haji. Saat meninggalkan desa Nawa, ia terserang penyakit demam sampai ia berada di Arafah. Dalam kesempatan haji ini, ia bermukim di Madinah  selama kurang lebih satu bulan setengah.
Dalam hari-harinya, Imam Nawawi membuat jadwal untuk memperdalam berbagai cabang ilmu di hadapan guru-gurunya. Ia membaginya menjadi dua belas jam pelajaran untuk dua belas cabang ilmu sebagai berikut:
1. Dua jam pelajaran untuk mempelajari kitab al-Wasith.
2. Satu jam pelajaran untuk mempelajari kitab al-Muhadzdzab.
3. Satu jam pelajaran untuk mempelajari kitab al-Jam’u bain ash-Shahihain.
4. Satu jam pelajaran untuk mempelajari kitab Shahih Muslim.
5. Satu jam pelajaran untuk mempelajari kitab al-Luma’ karya Ibnu Dhubai.
6. Satu jam pelajaran untuk mempelajari kitab Ishlah al-Manthiq.
7. Satu jam pelajaran untuk mempelajari ilmu tashrif.
8. Satu jam pelajaran untuk mempelajari ilmu Ushul al-Fiqh.
9. Satu jam pelajaran untuk mempelajari para perawi hadis (Asma` ar-Rijal).
10. Satu jam pelajaran untuk mempelajari ilmu Ushuliddin. 
11. Satu jam pelajaran untuk mempelajari ilmu kedokteran.
Namun untuk yang terakhir ini ia tidak jadi mempelarinya. Ia berkata, “Suatu saat terpikir olehku untuk mempelajari ilmu kedokteran, karenanya aku membeli buku al-Qanun fi ath-Thib (karya Ibnu Sina). Namun, ketika aku mempelajarinya, hatiku menjadi gelap. Berhari-hari aku tidak mampu memahami ilmu. Setelah itu, aku tersadarkan diri dan memutuskan untuk menjual buku tersebut sehingga menjadi teranglah hatiku.”
Guru-guru Imam Nawawi
A. Dalam bidang hadits
1. Al-Khatib Imaduddin Abdul Karim yang terkenal dengan Ibnu al-Haristani.
2. Abdul Aziz bin Muhammad bin Abdul Muhsin al-Anshari.
3. Al-Hafizh Zain Khalid bin Yusuf bin Sa’ad bin Hasan bin Mufarraj.
4. Ibnu Burhan al-Adl.
5. Ibrahim bin Isa al-Muradi, dan guru-guru yang lain.
B. Dalam bidang fiqih.
1. Kamaluddin Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad bin Utsman al-Magrabi.
2. Mufti Syam, Sallar bin al-Hasan bin Umar
3. Abu Muhammad bin Ibrahim al-Fazari
C. Dalam bidang ushul.
1. Kamaluddin Umar bin Bandar bin Umar at-Taflisi.
D. Dalam bidang bahasa
1. Ahmad bin Salim al-Mishri.
2. Muhammad bin Abdullan bin Malik ath-Tha`i al-Jiba`i.
Murid-murid Imam Nawawi
Imam Nawawi mempunyai banyak murid yang menjadi ulama. Di antara mereka adalah:

1. Ali bin Ibrahim bin Dawud al-Aththar.
2. Abul Hajjaj Yusuf bin Zakki Abdurrahman bin Yusuf al-Muzzi al-Qudha’i.
3. Muhammad bin Abi Bakar bin Ibrahahim  al-Qadhi.
4. Qhadi Sulaiman bin Hilal bin Syabal.
5. Salim bin Abdurrahman bin Abdullah, dan murid-murid yang lain.
Karya-karya Imam Nawawi
  1. Raudhah ath-Thalibin, ringkasan asy-Syarh al-Kabir karya Imam Rafi’i. Kitab Raudhah ath-Thalibin ini disusun oleh Imam Nawawi selama tiga tahun (666-669 H)
  2. Syarah Shahih Muslim yang ia beri nama al-Minhaj.
  3. Syarah al-Muhadzdzab yang ia beri nama al-Majmu’.
  4. Minhaj ath-Thalibin, ringkasan kitab al-Muharrar karya Imam Rafi’i.
  5. Tahdzib al-Asma` wa al-Lughat.
  6. 6. Riyadh ash-Shalihin.
  7. 7. Al-Adzkar.
  8. 8. Nukat at-Tanbih.
  9. 9. Al-Idhah fi Manasik al-Hajj.
  10. 10. At-Tibyan fi Adab Hamalat al-Qur`an.
  11. 11. Tuhfah ath-Thalib an-Nabih.
  12. At-Tanqih, syarah al-Wasith, namun penulisan kitab ini hanya sampai bab syarat-syarat shalat.
  13. 13. Nukat ‘ala al-Wasith.
  14. At-Tahqiq. Kitab ini membahas hanya sampai masalah shalat musafir.
  15. Muhimmat al-Ahkam. Kitab ini membahas hanya sampai bersuci badan dan pakaian.
  16. 16. Syarh al-Bukhari.
  17. 17. Al-‘Umdah fi Tashhih at-Tanbih.
  18. 18. At-Tahrir fi Lughat at-Tanbih.
  19. 19. Nukat al-Muhadzdzab.
  20. Al-Muntakhab, syarah at-Tadznib karya Imam Rafi’i.
  21. Daqa’iq ar-Raudhah, yang pembahasannya hanya sampai pada masalah adzan.
  22. 22. Thabaqat asy-Syafi’iyah.
  23. 23. Mukhtashar at-Turmudzi.
  24. 24. Qismah al-Qana’ah.
  25. 25. Mukhatashar Ta`lif ad-Darimi fi al-Mutahayyirah.
  26. 26. Mukhtashar Tashnif Abi Syamah fi al-Basmalah.
  27. 27. Manaqib asy-Syafi’i.
  28. 28. At-Taqrib fi ‘Ilm al-Hadits.
  29. 29. Al-Khulashah fi al-Hadits.
  30. 30. Mukhtashar Mubhamat al-Khatib.
  31. 31. Al-`Imla` ‘ala Hadits Innama al-A’mal bi an-Niyyat.
  32. Syarh Sunan Abi Dawud. Kitab ini disusun oleh Imam Nawawi, namun baru sedikit yang ditulisnya.
  33. Bustan al-Arifin. kitab ini belum sampai ia sempurnakan.
  34. 34. Ru`us al-Masa`il.
  35. 35. Al-Ushul wa adh-Dhawabith.
  36. Mukhatashar at-Tanbih, namun baru satu lembar yang ia tulis.
  37. 37. Al-Masa`il al-Mantsurah.
  38. Al-Arba’in beserta syarah lafalnya.
Di antara karya-karya di atas yang sangat populer dan sampai sekarang masih dibaca oleh para ulama maupun orang-orang yang ingin memperdalam ilmu agama adalah kitab al-Majmu’, syarah kitab al-Muhadzdzab karya asy-Syairazi. Belum sempat menyelesaikan syarah tersebut, ia telah meninggal dunia sehingga diteruskan oleh Imam Subki dan al-Muthi’i. Sampai sekarang kitab tersebut berjumlah 23 Juz.
Kitab ini membicarakan masalah fiqih. Meskipun ia bermadzhab Syafi’i, dalam kitab ini ia membahas fiqih tidak hanya dari madzhab Syafi’i, tetapi dari berbagai madzhab. Ia membandingkan antara satu madzhab dengan madzhab lain melaui dalil-dalil yang dipakai. Maka pantas kalau kitab ini dikategorikan sebagai kitab Perbandingan Fiqih Islam.
Sebenarnya, tidak hanya kitab al-Majmu’ yang pupuler, masih banyak kitab-kitabnya yang sampai saat ini dibaca banyak orang, termasuk di pondok pesantren di Indonesia seperti kitab Minhaj at-Thalibin (tentang fiqih), Riyadh ash-Shalihin (tentang nasehat-nasehat), al-‘Arba’in (kumpulan empat puluh hadis), Syarah Shahih Muslim, Raudhah at-Thalibin, dan lain-lain.
Sebab-sebab Kepandaiannya
Ustadz Ahmad Abdul Aziz Qasim mengatakan, “Ada baiknya kita menjelaskan secara rinci pembentukan kepribadian yang besar ini. Setelah mempelajari biografinya secara keseluruhan, aku melihat bahwa faktor-faktor yang membentuk kepribadian itu terbagi dalam dua macam, antara lain:
Pertama; Faktor-faktor yang biasa dilakukan para pencari ilmu, hanya saja pelaksanaannya yang berbeda antara satu murid dengan murid yang lain seperti halnya perbedaan tujuan yang mereka inginkanFaktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
a. Melakukan perjalanan dalam mencari ilmu.
b. Keberadaannya di Madrasah Ar-Rawahiyah.
c. Bersungguh-sungguh dalam belajar.
d. Banyak belajar dan mendengar.
e. Banyak menghafal dan menelaah.
f. Belajar dari guru-guru besar dan mendapat perhatian dari mereka.
g. Tersedianya kitab-kitab secara lengkap.
h. Sering mengajar.
Kedua; Faktor-faktor yang tidak biasa, yaitu faktor bakat yang diberikan Allah kepada hambanya yang dikehendaki-Nya seperti yang telah difirmankan, “Allah menganugerahkan al hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunah) kepada siapa yang Dia kehendaki.” (Al-Baqarah: 269) Namun, pemberian hikmah disyaratkan dengan takwa dan takut kepada-Nya. Allah berfirman, “Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu.” (Al-Baqarah: 282)
Ustadz Ahmad Abdul Qasim kemudian menjelaskan perincian faktor-faktor di atas, namun kami tidak mengutipnya secara sempurna karena sangat panjang dan memang kami hanya ingin yang ringkas saja.
Termasuk kutipan yang indah adalah permintaan maaf Al-Hafizh Ibnu Subki ketika diminta menyempurnakan kitab Al-Majmu’. Ia mengatakan sebagai berikut:
“Bisa saja karena kemampuanku yang kurang aku berbuat salah dan zhalim ketika menyarahi kitabnya. Bagaimana aku melakukan seperti yang telah ia lakukan, dia telah mendapatkan pertolongan serta takdir telah memihaknya sehingga pertolongan dan takdir tersebut mendekatkan apa yang jauh darinya. Tidak diragukan lagi bahwa untuk menghasilkan karya besar membutuhkan, setelah mempunyai keahlian, tiga perkara:
Pertama; Hati yang tenang dan waktu yang banyak. Dan Imam Nawawi mempunyai hati yang tenang dan waktu yang banyak, ia tidak tersibukkan dengan kerja mencari rizki dan mengurusi keluarga.
Kedua; Terkumpulnya kitab-kitab yang digunakan untuk mempelajari dan menelaah pendapat para ulama. Dan Imam Nawawi mendapatkan kitab-kitab yang dia inginkan karena banyak tersedia dan mudah didapatkan secara mudah di daerahnya.
Ketiga; Niat yang baik, wira’i, zuhud dan amal-amal saleh yang memancarkan cahaya-cahayanya. Dan Imam Nawawi telah melakukan hal-hal ini secara sempurna. Barangsiapa yang terkumpul padanya tiga perkara tersebut maka ia akan menyamai Imam Nawawi atau paling tidak mendekatinya.”
Kemudian Subki melakukan penyempurnaan kitab Al-Majmu’ dengan harapan dapat barakah dari Imam Nawawi. Namun, ia tidak sampai merampungkannya sehingga penyempuraannya diteruskan oleh Al-Muthi’i.
Di antara hal yang menunjukkan kebenaran penjelasan Imam Subki tentang kelengkapan kitab Imam Nawawi adalah kondisi kamar Imam Nawawi. Kamar Imam Nawawi di asrama Madrasah Ar-Rawahiyah di Damaskus penuh dengan kitab-kitab sehingga saat ada  tamu yang masuk dia harus mengambil sebagian kitab-kitab untuk ditumpukkan pada sebagian yang lain agar tamu dapat duduk. Tentu kitab-kitab ini tidak untuk sekadar koleksi atau hiasan, tetapi untuk dikaji isi-isinya.
Keberanian Imam Nawawi Untuk Menegakkan Kebenaran
Peristiwa yang menunjukkan keberanian Imam Nawawi dalam membela kebenaran, menyuruh melakukan perbuatan yang makruf dan mencegah perbuatan yang mungkar adalah ketika raja Zhahir Baibras ingin memerangi pasukan Tartar di Syam. Raja ini meminfa fatwa kepada para ulama tentang diperbolehkannya mengambil harta rakyat untuk digunakan bekal melawan pasukan Tartar. Maka para ahli fiqih  Syam menulis kesepakatan yang memperbolehkan hal itu. Zhahir bertanya, “Masih ada seseorang yang belum menyetujui kebijakan itu?” Seseorang menjawabnya, “Ya, Syaikh Muhyiddin An-Nawawi.”
Sultan Zhahir Baibras meminta Imam Nawawi agar ia datang kepadanya. Imam Nawawi memenuhi permintaan tersebut. Sultan Zhahir berkata, “Tulislah kesepaktaan bersama para ahli fiqih !” Namun, Imam Nawawi tidak mau menuruti perintah tersebut. Sultan Zhahir Baibras mengatakan, “Apa sebab kamu tidak mau memberikan fatwa yang membolehkan seperti fatwa ahli fiqih yang lain?”
An-Nawawi menjawab, “Aku mengetahui bahwasanya kamu dulunya menjadi budak Bandaqar dan kamu tidak mempunyai harta. Setelah itu Allah memberikan kenikmatan kepadamu dan menjadikanmu sebagai raja. Aku telah mendengar bahwa kamu mempunyai seribu budak, setiap budaknya mempunyai simpanan emas, kamu mempunyai dua ratus budak perempuan dan setiap budak perempuan tersebut mempunyai perhiasan. Apabila kamu nafkahkan semua hartamu itu dan budak-budakmu masih tetap kamu miliki, maka aku akan memberikan fatwa kepadamu tentang bolehnya mengambil harta rakyat!”
Mendengar jawaban Imam Nawawi ini, Sultan Zhahir Baibras menjadi marah, lalu berkata kepadanya, “Keluarlah dari negeriku (Damaskus)!”  Imam Nawawi megatakan, “Aku turuti dan taati perintahmu.” Lalu Imam Nawawi keluar menuju Nawa.
Namun, para ahli fiqih mengatakan kepada sultan Zhahir, “Dia adalah salah satu ulama besar dan orang saleh kami dan termasuk orang yang dipercaya dan diikuti. Maka kembalikanlah dia ke Damaskus.” Lalu Imam Nawawi ditawari kembali ke Damaskus, namun ia menolak tawaran tersebut dan mengatakan, “Aku tidak akan masuk ke situ, selama Zhahir masih ada di dalamnya.” Setelah satu bulan dari peristiwa tersebut, Imam Nawawi meninggal dunia.”
Demikianlah biografi singkat Imam Nawawi yang menggunakan waktu siang malamnya untuk belajar dan menulis. Tidak sia-sia usaha yang dilakukannya, karena menulis adalah kerja keabadian. Siapa yang menulis dia akan terus hidup di tengah-tengah generasi manusia yang terus berganti. Dan memang seperti itulah yang kita rasakan, Imam Nawawi sampai sekarang masih hidup di tengah-tengah kita seperti halnya ulama-ulama yang lain. Semoga Allah memberikan ampunan dan pahala surga kepada para ulama, khususnya Imam Nawawi yang telah menjadikan dirinya sebagai pelayan ilmu dengan belajar dan menulis. Hal ini dilakukannya meskipun merelakan dirinya untuk tidak menikah sampai wafatnya. Atau karena memang ia masyghul dengan ilmu sehingga tidak sempat untuk menikah sebagaimana Imam Ibnu Taimiyah. Hanya Allah yang tahu.
Imam Nawawi meninggal dunia pada malam rabu tanggal 24 bulan Rajab tahun 676 H. Ia dimakamkan di Nawa, tempat kelahirannya.