Senin, 14 Februari 2011

Maulana Muhammad Ilyas Al Kandahlawy


Maulana Muhammad Ilyas Al-Kandahlawy lahir pada tahun 1303 H. (1886) di desa Kandahlah di kawasan Muzhafar Nagar, Utar Prades, India. Ayahnya bernama Syaikh Ismail dan Ibunya bernama Shafiyah Al-Hafidzah. Keluarga Maulana Muhammad Ilyas terkenal sebagai gudang ilmu agama dan memiliki sifat wara’. Saudaranya antara lain Maulana Muhammad yang tertua, dan Maulana Muhammad Yahya. Sementara Maulana Muhammad Ilyas adalah anak ketiga dari tiga bersaudara ini. Maulana Muhammad Ilyas Al-Kandhahlawy juga adalah dari keturunan Hazrat Abu Bakar As-Siddiq R.a, seorang sahabat Rasulullah s.a.w.Maulana Muhammad Ilyas pertama kali belajar agama pada abangnya Syaikh Muhammad Yahya, beliau adalah seorang guru agama pada madrasah di kota kelahirannya. Abangnya adalah seorang pengikut mazhab Hanafi dan sahabat dari seorang ulama dan penulis Islam terkenal, Syaikh Abul Hasan Al-Hasani An-Nadwi yang merupakan seorang direktor pada lembaga Dar Al-‘Ulum di Lucknow, India .

Ayah beliau Syaikh Muhammad Ismail adalah seorang ruhaniawan besar yang suka menjalani hidup dengan ber’uzhlah, berkhalwat dan beribadah, membaca Al-Qur’an dan melayani para musafir yang datang dan pergi serta mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama.Beliau selalu mengamalkan do’a ma’tsur dari hadits untuk waktu dan keadaan yang berlainan. Perangainya menyukai kedamaian dan keselamatan serta bergaul dengan manusia dengan penuh kasih sayang dan kelembutan, tidak seorangpun meragukan dirinya. Bahkan beliau menjadi tumpuan kepercayaan para ulama sehingga mampu membimbing berbagai tingkat kaum muslimin yang terhalang oleh perselisihan di antara mereka.
Adapun ibu beliau Shafiyah Al-Hafidzah adalah seoarang Hafidzah Al-Qur’an. Isteri kedua dari Syaikh Muhammad Ismail ini selalu menghatamkan Al-Qur’an, bahkan sambil bekerjapun mulutnya senantiasa bergerak membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang ia hafal.Maulana Muhammad Ilyas sendiri mula mengenal pendidikan pada sekolah Ibtidaiyah (dasar). Sejak saat itulah beliau mula menghafal Al-Qur’an, hal ini disebabkan oleh kebiasaan yang ada dalam keluarga Syaikh Muhammad Ismail yang kebanyakan dari mereka adalah hafidzh Al-Qur’an. Sehingga diriwayatkan bahawa dalam solat berjama’ah separuh saff bagian depan semuanya adalah hafidzh terkecuali muazzin saja.

Sejak kecil telah tampak ruh dan semangat agama dalam dirinya, beliau memilki kerisauan terhadap umat, agama dan dakwah. Sehingga ‘Allamah Asy-Syaikh Mahmud Hasan yang dikenal sebagai Syaikhul Hind (guru besar ilmu hadits pada madrasah Darul ‘Ulum Deoband) mengatakan, “sesungguhnya apabila aku melihat Maulana Ilyas aku teringat akan kisah perjuangan para sahabat”. Pada suatu ketika saudara keduanya, iaitu Maulana Muhammad Yahya pergi belajar kepada seorang ‘alim besar dan pembaharu yang ternama yakni Syaikh Rasyid Ahmad Al-Gangohi, di desa Gangoh, kawasan Saranpur, Utar Pradesh, India. Maulana Muhammad Yahya belajar membersihkan diri dan menyerap ilmu dengan bimbingan Syaikh Rasyid. Hal ini pula yang membuat Maulana Muhammad Ilyas tertarik untuk belajar pada Syaikh Rasyid sebagaimana abangnya. Akhirnya Maulana Ilyas memutuskan untuk belajar agama menyertai abangnya di Gangoh. Akan tetapi selama tinggal dan belajar di sana Maulana Ilyas selalu menderita sakit. Sakit ini ditanggungnya selama bertahun-tahun lamanya, tabib Ustadz Mahmud Ahmad, anak dari Syaikh Gangohi sendiri, telah memberikan ubat dan rawatan pada beliau.Sakit yang dideritanya menyebabkan kegiatan belajarnya pun terganggu, akan tetapi beliau tidak berputus asa. Banyak yang menyarankan agar beliau berhenti belajar untuk sementara waktu, beliau menjawab, ”apa gunanya aku hidup jika dalam kebodohan”.
Dengan izin Allah SWT, Maulana pun menyelesaiakan pelajaran Hadits Syarif, Jami’at Tirmidzi dan Shahih Bukhari, dan dalam jangka waktu empat bulan beliau sudah menyelesaikan Kutubus Sittah . Tubuhnya yang kurus dan sering terserang sakit semakin membuat beliau bersemangat dalam menuntut ilmu, begitu pula kerisauannya yang bertambah besar terhadap keadaan umat yang jauh dari Syari’at Islam.
Ketika Syaikh Gangohi wafat pada tahun 1323 H, beliau baru berumur dua puluh lima tahun dan merasa sangat kehilangan guru yang paling dihormati. Hal ini membuatnya semakin taat beribadah pada Allah. Beliau menjadi pendiam dan hanya mengerjakan ibadah, zikir, dan banyak mengerjakan amal-amal infiradi . Maulana Muhammad Zakariya menuliskan:Pada waktu aku mengaji sebuah kitab kepada beliau, aku datang padanya dengan kitab pelajaranku dan aku menunjukkan tempat pelajaran dengan jari kepadanya. Tetapi apabila aku salah dalam membaca, maka beliau akan memberi isyarat kepadaku dengan jarinya agar menutup kitab dan menghentikan pelajaran. Hal itu beliau maksudkan agar aku mempelajari kembali kitab tersebut, kemudian datang lagi pada hari berikutnya .
Beliau akhirnya berkenalan dengan Syaikh Khalid Ahmad As-Sharanpuri, penulis kitab Bajhul Majhud Fi Hilli Alfazhi Abi Dawud, dan akhirnya beliau berguru kepadanya. Semakin bertambah ilmu yang dimiliki membuat beliau semakin tawaddu'. Ketawaddukan beliau di usia mudanya menyebabkan beliau dihormati di kalangan para Ulama dan Masyaikh. Syaikh Yahya, abang kandung beliau sendiri tidak pernah memperlakukan beliau sebagai anak kecil, bahkan Syaikh Yahya sangat menghormati beliau.
Pada suatu ketika di Kandhla ada sebuah pertemuan yang dihadiri oleh ulama-ulama besar, di antaranya terdapat nama Syaikh Abdurrahman Ar-Raipuri, Syaikh Khalil Ahmad As-Sharanpuri, dan Syaikh Asyraf Ali At-Tanwi. Waktu itu tiba waktu sholat Asar, mereka meminta Maulana Ilyas untuk mengimami solat tersebut. Ustadz Badrul Hasan salah seorang di antara keluarga besar tersebut berkata, “alangkah panjang dan beratnya kereta api ini, namun alangkah ringan lokomotifnya”, kemudian salah seorang diantara hadirin menjawab,” tetapi lokomotif yang kuat itu justeru keranana ringannya”.
Akibat kematian abangnya, Maulana Muhammad Yahya, pada 9 Ogos 1925, beliau mengalami goncangan batin yang cukup berat. Dua tahun setelah itu, menyusul abangnya yang tertua, Maulana Muhammad. Beliau meninggal di Masjid Nawab Wali, Qassab Pura dan dimakamkan di Nizamuddin. Kematian Maulana Muhammad ini mendapat perhatian dari masyarakat sekitarnya. Beribu orang menziarahi jenazahnya. Setelah dimakamkan orang ramai meminta kepada Maulana Ilyas untuk menggantikan abangnya di Nizamuddin padahal pada waktu itu beliau sedang menjadi salah seorang pengajar di Madrasah Mazhahirul ‘Ulum. Masyarakat bahkan menjanjikan dana bulanan kepada madrasah dengan syarat agar dapat diamalkan seumur hidupnya.
Pada akhirnya, setelah mendapat izin dari Maulana Khalil Ahmad dengan pertimbangan jika tinggalnya di Nizamuddin membawa manfaat maka Maulana Ilyas akan diberi kesempatan untuk berhenti mengajar. Beliau pun akhirnya pergi ke Nizamuddin, ke madarasah warisan ayahnya yang kosong akibat lama tidak dihuni. Dengan semangat mengajar yang tinggi beliaupun akhirnya membuka kembali madrasah tersebut.Kerana semangat yang tinggi untuk memajukan agama, beliaupun mendirikan Maktab di Mewat, tetapi keadaan sekitar dan suasana menyebabkan masyarakatnya lebih menyukai anak-anak mereka pergi ke kebun atau ke sawah daripada ke Madrasah atau Maktab untuk belajar agama, membaca atau menulis. Oleh yang demikian, Maulana Ilyas terpaksa meminta orang Mewat untuk menyiapkan anak-anak mereka untuk belajar dengan pembiayaan yang akan ditanggung oleh Maulana sendiri.
Besarnya pengorbanan Maulana hanya untuk memajukan pendidikan agama bagi masyarakat Mewat tidak mendapatkan perhatian. Bahkan mereka enggan menuntut ilmu, mereka senang hidup dalam keadaan yang sudah mereka jalani selama bertahun-tahun turun temurun. Beliau melihat bahawa kejahilan, kegelapan dan sekularisme yang melanda negerinya sangat berpengaruh terhadap madrasah-madrasah. Para murid tidak mampu menjunjung nilai-nilai agama sebagaimana yang sepatutnya, sehingga gelombang kejahilan semakin melanda bagaikan gelombang lautan yang meluru deras sehingga ratusan mil membawa mereka hanyut. Tetapi, masyarakat tetap masih belum memiliki semangat agama. Kebanyakan mereka tidak begitu berminat untuk mengirimkan anak-anak mereka untuk belajar ilmu di Madrasah. Hal ini disebabkan mereka tidak tahu pentingnya ilmu agama, mereka pun tidak menaruh hormat pada lulusan Madrasah yang telah memberikan penerangan dan dakwah. Orang Mewat pun tidak mahu mendengar apatah lagi untuk mengikutinya. Madrasah-madrasah yang ada itu masih tidak mampu mengubah warna dan gaya hidup masyarakat .
Melihat keadaan Mewat yang sangat jahil itu semakin menambah kerisauan beliau akan keadaan umat Islam terutama masyarakat Mewat. Kunjungan-kunjungan diadakan bahkan madrasah-madrasah banyak didirikan, tetapi hal itu belum dapat mengatasi masalah yang dihadapi masyarakat Mewat.
Dengan izin Allah timbullah keinginannya untuk mengirimkan jama’ah dakwah ke Mewat. Pada tahun 1351 H/1931 M, beliau menunaikan haji yang ketiga ke tanah suci Makkah. Kesempatan tersebut dipergunakannya untuk menemui tokoh-tokoh India yang ada di Arab untuk memperenalkan usaha dakwah dan dengan harapan agar usaha ini dapat terus dijalankan di tanah Arab. Keinginannya yang besar menyebabkan beliau berkesempatan menemui Sultan Ibnu Sa’ud yang menjadi raja tanah Arab untuk mengenalkan usaha mulia yang dibawanya. Selama di tanah Makkah Jama’ah bergerak setiap hari dari pagi sampai petang, usaha dakwah terus dilakukan untuk mengajak orang taat kepada perintah Allah dan menegakkan dakwah.Setelah pulang dari haji tersebut, Maulana mengadakan dua kunjungan ke Mewat, masing-masing disertai jama’ah dengan jumlah yang cukup besar, paling sedikit seratus orang. Bahkan di beberapa tempat jumlah itu semakin meningkat. Kunjungan pertama dilakukan selama satu bulan dan kunjungan ke dua dilakukan hanya beberapa hari saja. Dalam kunjungan tersebut beliau selalu membentuk jama’ah-jama’ah yang dikirimkan ke kampung-kampung untuk berjaulah (berkeliling dari rumah ke rumah) guna menyampaikan pentingnya agama . Beliau sepenuhnya yakin bahwa kejahilan, kelalaian serta hilangnya semangat agama dan jiwa keislaman itulah yang menjadi sumber kerosakan.
Adapun satu-satu jalan adalah memujuk orang-orang Mewat agar keluar dari kampung halamannya untuk memperbaiki diri dan belajar agama, serta melatih kebiasaan-kebiasaan yang baik sehingga tumbuh kesadarannya untuk mencintai agama lebih daripada dunia dan mementingkan amal dari mal (harta). Dari Mewat inilah secara beransur-ansur usaha tabligh meluas ke Delhi, United Province, Punjab, Khurja, Aligarh, Agra, Bulandshar, Meerut, Panipat, Sonepat, Karnal, Rohtak dan daerah lainnya. Begitu juga di bandar-bandar pelabuhan banyak jama’ah yang tinggal dan terus bergerak menuju tempat-tempat yang ditujukan sepeti halnya daerah Asia Barat .
Terbentuknya jama’ah ini adalah dengan izin Allah melalui asbab kerisauan Maulana Muhammad Ilyas, menyebarlah jama’ah-jama’ah yang membawa misi berganda yaitu islah diri (perbaikan diri sendiri) dan mendakwahkan kebesaran Allah SWT kepada seluruh umat manusia. Perkembangan jama’ah ini semakin hari semakin ketara. Banyak jama’ah yang dihantar dari tempat-tempat yang dikunjungi jama’ah pun ada yang kemudian membentuk rombongan jama’ah baru sehingga silaturrahim antara kaum muslimin dengan muslim yang lain dapat terwujud. Gerakan jama’ah tidak hanya tersebar di India tetapi sedikit demi sedikit telah menyebar ke barbagai negara.
Hanya kekuasaan Allah yang dapat memakmurkan dan membesarkan usaha ini.Kerisauan akan keadaan umat semakin bertambah, jama’ah-jama’ah banyak dibentuk dan dihantar ke pelosok jazirah. Sehingga dengan izin Allah usaha ini pun semakin meluas. Maulana Muhammad Ilyas tanpa henti terus memberi dorongan dan arahan ilmu dan pemikirannya untuk menjalankan usaha dakwah ini agar sampai ke seluruh alam. Dalam keadaan umur yang tua, Maulana terus bersemangat hingga tubuhnya yang kurus tidak mampu lagi untuk digerakkan ketika beliau menderita sakit.
Pada hari terakhir dalam sejarah hidupnya Maulana mengirim utusan kepada Syaikhul Hadits Maulana Zakariya, Maulana Abdul Qodir Raipuri, dan Maulana Zafar Ahmad, bahwa beliau akan mengamanahkan kepercayaan sebagai amir jama’ah kepada sahabat-sahabatnya seperti Hafidz Maqbul Hasan, Qozi Dawud, Mulvi Ihtisamul Hasan, Mulvi Muhammad Yusuf, Mulvi Inamul Hasan, Mulvi Sayyid Raza Hasan. Pada saat itu terpilihlah Mulvi Muhammad Yusuf sebagai pengganti Maulana Muhammad Ilyas dalam memimpin usaha dakwah dan tabligh .Pada sekitar bulan Julai 1944 beliau jatuh sakit yang cukup parah, beliau hanya berbaring di tempat tidur dengan ditemani para pembantu dan muridnya. Keadaan tubuhnya yang telah lemah merupakan bukti nyata bahwa beliau bersungguh-sungguh menghabiskan waktu berdakwah Khuruj Fi Sabilillah mengembara dari satu tempat ke tempat lain bersama dengan jama’ah untuk mendakwahkan kebesaran Allah dan kalimat Laa Ilaaha Illallah Muhammad Rasulullah.
Pada tanggal 13 Julai 1944, Maulana telah siap untuk menempuh perjalanannya yang terakhir. Beliau bertanya kepada salah seorang yang hadir, “apakah besok hari Khamis?”, yang di sekelilingnya menjawab,”Benar”, kemudian beliau berkata lagi, “Periksalah pakaianku, apakah ada najisnya atau tidak”, yang disekelilingnya berkata bahwa pakaian yang dikenakannya masih dalam keadaan suci. Kemudian beliau turun dari tempat pembaringan, berwudhu dan mengerjakan solat Isyak dengan berjama’ah. Beliau berpesan kepada orang-orang agar memperbanyak zikir dan do’a pada malam itu. Beliau berkata,”Yang ada di sekelilingku ini pada hari ini hendaklah menjadi orang-orang yang dapat membezakan antara perbuatan syaitan dan perbuatan malaikat Allah”.
Pada pukul 12 malam beliau pengsan dan sangat gelisah, doktor segera dipanggil dan ubat pun segera diberikan, kata-kata "Allahu Akbar" terus keluar dari mulutnya ketika malam telah menjelang pagi, beliau mencari anaknya Maulana Muhammad Yusuf dan Maulana Ikromul Hasan. Ketika dipertemukan beliau berkata, "kemarilah kalian, aku ingin memeluk, tidak ada lagi waktu setelah ini, sesungguhnya aku akan pergi”.
Akhirnya Maulana menghembuskan nafas terakhirnya, beliau pulang ke Rahmatullah sebelum azan Shubuh. Seorang pengembara yang amat lelah yang mungkin tidak pernah tidur dengan tenang, kini sampai ke tempat tujuannya. .Beliau tidak banyak meninggalkan karya-karya tulisan tentang kerisauannya akan keadaan umat.

Buah fikiran beliau dicurahkan dalam lembar-lembar kertas surat yang dihimpun oleh Maulana Manzoor Nu’mani dengan judul Aur Un Ki Deeni Dawat yang ditujukan kepada para ulama dan seluruh umat Islam yang mengambil usaha dakwah ini. Karya beliau yang paling nyata adalah beliau telah meninggalkan kerisuaan dan fikir atas umat Islam hari ini serta metod kerja dakwahnya yang atas izin Allah SWT telah menyebar ke seluruh pelosok dunia. Orang-orang yang mengetahui keadaan umat, Insya Allah akan mengambil jalan dakwah ini sebagai penawar dan ubat hatinya, dan akan menjadi sebab hadirnya hidayah bagi dirinya dan orang lain.

Prinsip dan Usaha Membangun Tradisi Dakwah
Dakwah merupakan masalah yang paling penting dalam mengembalikan kejayaan umat Islam. Kesan dakwah pada saat ini tidaklah sepenting yang digariskan, dan seakan sudah tidak ada lagi dalam fikiran orang-orang Islam yang hidup pada zaman ini. Orang-orang Islam mungkin lupa bahwa risalah kenabian dan kerasulan telah ditutup oleh Allah SWT. Sementara agama Islam yang menjadi jalan keselamatan harus sampai kepada generasi terakhir umat manusia yang tidak seorangpun mengetahui bila berakhirnya. Sering diungkapkan dalam riwayat-riwayat tentang penyakit umat-umat nabi terdahulu yang pada saat ini dapat kita lihat sendiri.
Maka menjadi tugas umat Islam sebagai pewaris tugas kenabian untuk mendakwahkan agama Allah SWT hingga generasi terakhir dari peradaban manusia.Dalam pandangan Maulana Muhammad Ilyas dakwah merupakan kewajiban umat Nabi Muhammad saw. Pada prinsipnya setiap orang yang mengaku mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW tentulah memiliki kewajiban mendakwahkan ajarannya, yaitu agar selalu taat kepada Allah dengan cara yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah SAW. Menjadikan dakwah sebagai maksud hidup untuk mencapai puncak pengorbanan merupakan tujuan yang harus dicapai setiap individu pendakwah yang mengerti keadaan umat Islam saat ini. Sebagaimana halnya para sahabat nabi yang dalam riwayat banyak dikisahkan tentang pengorbanan mereka terhadap agama Allah SWT, sehingga Allah memberikan kemulian dan kesempurnaan amal agama dan kehidupan yang tidak hanya berfokus pada ibadah semata melainkan mencakupi semua bidang kehidupan berupa politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Pada awal perkembangannya yang sedemikian terbatas, Islam mampu menguasai belahan dunia pada saat itu dengan menundukkan Romawi dan Parsi serta menyebarkan ilmu pengetahuan ke seluruh belahan dunia. Hal ini merupakan bukti tentang besar dan megahnya Islam dengan generasi yang berpegang teguh pada ajarannya. Hal inilah yang dikehendaki Maulana agar dapat diwujudkan kembali di kalangan umat Islam. Maulana menghabiskan masa hidupnya untuk berdakwah, mengajarkan prinsip dakwah yang hakiki yakni bahwa setiap diri yang mengaku sebagai umat Islam mempunyai kewajiban berdakwah, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.

Dalam salah satu suratnya yang ditujukan pada Syaikh Muhammad Zakariya, beliau menulis: "Aku ingin agar fikiran, hari, kekuatan dan waktuku hanya aku gunakan demi cita-citaku ini saja. Bagaimana aku dapat bekerja selain dari kerja dakwah dan tabligh, sedangkan aku melihat ruh Nabi SAW bersedih akibat perilaku buruk umatnya, lemah agama dan aqidah, merosot, dan hina serta tidak adanya kejayaan bahkan telah lama digilas kekufuran". Kerisauan yang mendalam akan keadaan umat inilah yang menyebabkan beliau berkeinginan kuat untuk terus berdakwah mengajak orang taat kepada Allah dan menyampaikan kebesaran Allah dengan manifestasi menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Melalui segala macam usaha yang dilakukan oleh beliau dengan fikiran dan kerisauan akhirnya terbentuklah jama’ah-jama’ah yang berkeinginan mendakwahkan kembali ajaran Nabi Muhammad saw kepada umatnya.Membebankan kewajiban bertabligh (amar ma’ruf nahi munkar) semata-mata pada kalangan ulama adalah sebagai tanda adanya kebodohan pada diri kita. Tugas ulama adalah mengajarkan ilmu dan menunjukkan jalan yang benar akan pemahaman terhadap agama. Sedangkan memerintahkan berbuat kebajikan di antara khalayak dan mengusahakan supaya mereka menuju jalan yang benar adalah tanggung jawab semua orang Islam . Sementara Dr. Sayyid Muhammad Nuh dalam tulisannya menegaskan: Laju perjalanan umat Islam saat ini jauh tertinggal di belakang, setelah sebelumnya berada di barisan paling depan.
Banyak sebab yang menjadikan kaum muslimin dalam keadaan seperti ini, di antara sebab utama adalah meninggalkan kewajiban dakwah, amar ma’ruf nahi munkar dan jihad fi Sabilillah. Semua ini berangkat dari kesalahan persepsi umat dalam memandang kewajiban ini. Masih banyak yang memahami bahawa dakwah adalah kewajiban ulama saja, terbatas dalam bentuk ceramah, khutbah dan mau’idzhah saja. Sementara itu, sebahagian dari mereka ada yang memahami dakwah ini merupakan kewajiban yang berlaku atas setiap individu muslim, namun mereka melakukannya tanpa disertai pemahan yang baik terhadap manhaj dakwah nabawiyah dan rambu-rambu Al-Qur’an .
Jauh sebelum itu Maulana Muhammad Ilyas telah memikirkan keadaan ini, sehingga keinginannya yang telah bersatu dengan kerisauannya akan keadaan umat Islam yang dilihatnya, membuatnya mencurahkan hidupnya untuk kerja dakwah. Bahkan Maulana Muhammad Ilyas mulai membangun tradisi dakwah yang ia mulai dengan membentuk jama’ah-jama’ah dakwah yang dihantar ke tempat-tempat tertentu, bahkan dipimpin langsung oleh beliau. Dengan tenaga dan kerisauan yang ada beliau berusaha mengenalkan kewajiban dakwah pada umat Islam dan membangun tradisi tersebut agar semua dapat melaksanakan jalan dakwah ini.Membangun tradisi dakwah diantara keadaan umat yang jauh dari agama, seperti di Mewat tidaklah semudah yang dibayangkan.
Dalam keadaan yang penuh dengan kesesatan dan kejahilan masyarakat, Maulana Muhammad Ilyas terpanggil untuk mengajak mereka kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Terlebih lagi masyarakat yang masih kuat memegang syariat agama. Beliau sangat menyadari bahawa Rasulullah bukanlah orang yang mementingkan diri sendiri, beliau selalu memikirkan umatnya, merisaukan keadaan umatnya di kemudian hari. Sehingga dalam riwayat di beritakan bahwa ketika ajal beliau datang, dengan tersekat-sekat masih menyebut umatnya. Fikiran itulah yang selalu muncul dalam benak Maulana, bahwa dakwah hari ini adalah bagaimana mengajak umat kembali kepada jalan Allah dan Rasulnya.Berdasarkan pengalaman dan pemikiran yang panjang, Maulana melihat bahawa para petani Mewat yang miskin tidak mungkin dapat meluangkan waktunya untuk belajar agama, sedangkan mereka masih berada di tengah-tengah lingkungan dengan segala kesibukannya. Bahkan dalam jangka waktu yang pendek yang dapat mereka berikan itu, tidak dapat diharapkan agar mereka dapat memperoleh kesan yang dalam dari ajaran-ajaran agama yang telah mereka peroleh, serta memiliki semangat agama sebagaimana yang diharapkan yang dapat mengubah cara hidup mereka. Sesungguhnya tidak mungkin meminta mereka supaya semuanya untuk ke madrasah. Namun juga tidak tepat berangan-angan bahwa hanya dengan sekadar nasihat dan ceramah akan mengubah kehidupan mereka dari cara-cara jahiliyah kepada cara-cara Islam, baik dalam perangai, tradisi, maupun pola berfikir .
Peranan Maulana Muhammad Ilyas dalam menggerakkan masyarakat Mewat yang jahiliyah itu menyebabkan tumbuhnya suasana agama yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Suasana agama inilah yang diperlukan guna menstimulasi berkembangnya masyarakat yang Islami yang mengikuti kehidupan rasul dan para sahabat. Jama’ah-jama’ah dari masyarakat pun dibentuk untuk dikirim ke beberapa tempat agar dapat memperbaiki diri dalam suasana agama, dengan perbekalan seadanya dan semangat untuk menyebarkan dan mensuasanakan agama. Datangnya Ramadhan dan cahayanya telah menyinari hati manusia, Maulana Ilyas pun meminta para sahabatnya agar menyiapkan jama’ah untuk dikirim ke Kandhla. Padahal mereka tahu bahwa Kandhla merupakan pusat ilmu dan banyak terdapat rohaniawan. Tentu saja mereka berkeberatan untuk menyampaikan seruan agama tersebut. Apalagi jama’ah itu adalah orang-orang yang jahil, sungguh ini merupakan suatu yang aneh. Namun akhirnya terbentuklah jama’ah yang terdiri dari sepuluh orang Mewat yang dipimpin oleh Hafidzh Maqbul Hasan.
Jama’ah ini bertolak dari Delhi menuju ke Kandhla setelah hari raya. Jama’ah mendapatkan sambutan yang menyenangkan .Jama’ah pertama yang dikirim menyebabkan bertambahnya semangat beliau dalam membangun tradisi dakwah di kalangan masyarakat. Daerah-daerah lain pun mulai difikirkannya. Gerak jama’ah sangat penting ertinya bagi upaya mengubah pola hidup masyarakat. Bagaimanapun keadaannya, beliau tetap berharap dapat mengirimkan jama’ah-jama’ah serupa ke berbagai tempat lainnya. Jama’ah kedua dikirim ke Raipur, kemudian mengadakan ijtima’ (berkumpul) di Chatora hingga terbentuk jama’ah lagi hingga dikirim ke Sonepar, Panipat, dan daerah sekitarnya. Begitulah perkembangan yang terjadi di daerah Mewat dan sekitarnya.Beliau sepenuhnya meyakini bahwa kejahilan, kelalaian serta hilangnya semangat agama dan jiwa keislaman itulah yang menjadi sumber kerosakan. Adapun satu-satunya jalan keluar adalah memujuk orang-orang Mewat supaya keluar (dari kampung halamannya) guna memperbaiki diri, belajar agama, dan melatih kebiasaan yang baik hingga tumbuh kesadarannya untuk lebih mencintai agama daripada dunia, dan mementingkan amal daripada mal (harta) .
Maulana bercita-cita mewujudkan satu generasi yang benar-benar mau berkorban untuk agama, seperti berkorbannya para sahabat dahulu. Jika sehari-hari mereka berkorban waktu, harta, dan diri mereka untuk keduniaan, maka mereka pun harus berusaha untuk berkorban dengan diri, harta dan waktu mereka untuk agama. Menjadi hal yang biasa bahawa segala sesuatu yang diperoleh melalui pengorbanan akan sangat dicintai.Lambat laun suasana di Mewat semakin berubah. Bahkan perubahan tersebut makin tampak pada cara hidup dan tradisi mereka. Mewat menjadi tanah gembur dan subur yang apabila tanaman dakwah Islamiyah dan pengajaran hukum-hukum agama ditanamkan akan tumbuh, berkembang dan berbuah di tempat tersebut . Perkembangan yang terjadi di Mewat adalah perkembangan yang mengesankan, Mewat yang pada mulanya dilingkupi jahiliyah kini telah berubah menjadi pusat dakwah dan siar agama. Usaha Maulana Muhammad Ilyas yang pertama adalah menanamkan iman dan keyakinan yang benar terhadap Allah SWT dengan cara yang telah dicontohkan Rasulullah SAW. Kemudian beliau menyampaikan keutamaan-keutamaan beramal dan kerugian meninggalkannya serta mengajak umat Islam untuk berkorban, meletakkan diri, harta dan waktunya di jalan Allah.
Sampai akhir hayatnya beliau tetap mencurahkan perhatiannya pada usaha dakwah ini. Bahkan setelah berkembang di India, usaha dakwah ini berkembang ke seluruh dunia. Hingga saat ini negara-negara di beberapa berlahan benua telah memiliki amal jama’ah dakwah. Mereka terus bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mengajak manusia kembali kepada tugas utama sebagai hamba Allah yang sudah seharusnya mengabdikan diri dengan segenap jiwa dan raga serta sebagai umat Nabi yang terakhir Muhammad saw yang mempunyai tugas dakwah beramar ma’ruf nahi munkar.
[1]Riwayat Hidup maulana Muhammad Ilyas diambil dari buku karangan Sayyid Abul Hasan Ali-Nadwi, (1999), Riwayat Hidup Dan Usaha Dakwah Maulana Muhammad Ilyas, Yogyakarta: Ash-Shaff, hlm. 5-18
[2]lihat, H.A. Hafizh Dasuki (et al), (1993), Ensiklopedi Islam Vol. S1-1, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, hlm. 266
[3]Kutubus Sittah berarti kitab yang enam yaitu kitab-kitab hadits yang telah dijadikan standard para ulama dan kaum muslimin untuk menjadi hujjah bagi persoalan-persoalan agama diantaranya adalah Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majjah.
[4]Infiradi berasal dari kata faroda yang dalam bahasa arab berarti sendiri, yang dimaksudkan adalah beramal secara sendiri atau tidak berjama’ah
[5]Sayyid Abul Hasan Ali Nadwi, op. cit., hlm. 14
[6]Sayyid Abul Hasan Ali An-Nadwi, op. cit., hlm. 39-40
[7]Ibid, hlm. 43-44
[8]Tutus Hendrato, op. cit., hlm. 22-23
[9]Ibid, hlm. 24
[10]Sayyid Abul hasan Ali- Nadwi, op. cit., hlm. 127-128
[11]Ibid, hlm. 145
[12]Maulana Ihtisamul Hasan Kandhalawi, (1998), Keruntuhan Umat Islam Dan Cara Mengatasinya, Yogyakarta: Ash-Shaff, hlm. 23
[13]Sayyid Muhammad Nuh, (1996), Dakwah Fardiyah, Dalam Manhaj Amal Islami, Solo: Citra Islami Press, hlm. 9
[14]Sayyid Abul Hasan Ali-Nadwi, loc. cit., hlm 44
[15]Ibid, hlm. 47
[16] Sayyid Abul Hasan Ali-Nadwi, op. cit., 45-46
[17]Ibid, hlm. 51
 Abu Aqil  10.03

Tidak ada komentar:

Posting Komentar