Kamis, 03 Februari 2011

Imam Nawawi


Nama lengkapnya adalah Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi. Ia dilahirkan di Nawa, desa kecil yang berada di daerah Hauran, Syria, pada pertengahan Bulan Muharram tahun 631 H.
Imam Nawawi saat berumur 19 tahun diajak bapaknya ke Damaskus, lalu menetap di Madrasah ar-Rawahiyyah untuk menuntut ilmu. Dalam waktu empat bulan setengah, ia sudah hafal kitabat-Tanbih (kitab fiqih). Lima bulan setengah setelahnya dia hafal seperempat kitab al-Muhadzdzab.
Setelah itu, Imam Nawawi bersama bapaknya pergi melaksanakan ibadah haji. Saat meninggalkan desa Nawa, ia terserang penyakit demam sampai ia berada di Arafah. Dalam kesempatan haji ini, ia bermukim di Madinah  selama kurang lebih satu bulan setengah.
Dalam hari-harinya, Imam Nawawi membuat jadwal untuk memperdalam berbagai cabang ilmu di hadapan guru-gurunya. Ia membaginya menjadi dua belas jam pelajaran untuk dua belas cabang ilmu sebagai berikut:
1. Dua jam pelajaran untuk mempelajari kitab al-Wasith.
2. Satu jam pelajaran untuk mempelajari kitab al-Muhadzdzab.
3. Satu jam pelajaran untuk mempelajari kitab al-Jam’u bain ash-Shahihain.
4. Satu jam pelajaran untuk mempelajari kitab Shahih Muslim.
5. Satu jam pelajaran untuk mempelajari kitab al-Luma’ karya Ibnu Dhubai.
6. Satu jam pelajaran untuk mempelajari kitab Ishlah al-Manthiq.
7. Satu jam pelajaran untuk mempelajari ilmu tashrif.
8. Satu jam pelajaran untuk mempelajari ilmu Ushul al-Fiqh.
9. Satu jam pelajaran untuk mempelajari para perawi hadis (Asma` ar-Rijal).
10. Satu jam pelajaran untuk mempelajari ilmu Ushuliddin. 
11. Satu jam pelajaran untuk mempelajari ilmu kedokteran.
Namun untuk yang terakhir ini ia tidak jadi mempelarinya. Ia berkata, “Suatu saat terpikir olehku untuk mempelajari ilmu kedokteran, karenanya aku membeli buku al-Qanun fi ath-Thib (karya Ibnu Sina). Namun, ketika aku mempelajarinya, hatiku menjadi gelap. Berhari-hari aku tidak mampu memahami ilmu. Setelah itu, aku tersadarkan diri dan memutuskan untuk menjual buku tersebut sehingga menjadi teranglah hatiku.”
Guru-guru Imam Nawawi
A. Dalam bidang hadits
1. Al-Khatib Imaduddin Abdul Karim yang terkenal dengan Ibnu al-Haristani.
2. Abdul Aziz bin Muhammad bin Abdul Muhsin al-Anshari.
3. Al-Hafizh Zain Khalid bin Yusuf bin Sa’ad bin Hasan bin Mufarraj.
4. Ibnu Burhan al-Adl.
5. Ibrahim bin Isa al-Muradi, dan guru-guru yang lain.
B. Dalam bidang fiqih.
1. Kamaluddin Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad bin Utsman al-Magrabi.
2. Mufti Syam, Sallar bin al-Hasan bin Umar
3. Abu Muhammad bin Ibrahim al-Fazari
C. Dalam bidang ushul.
1. Kamaluddin Umar bin Bandar bin Umar at-Taflisi.
D. Dalam bidang bahasa
1. Ahmad bin Salim al-Mishri.
2. Muhammad bin Abdullan bin Malik ath-Tha`i al-Jiba`i.
Murid-murid Imam Nawawi
Imam Nawawi mempunyai banyak murid yang menjadi ulama. Di antara mereka adalah:

1. Ali bin Ibrahim bin Dawud al-Aththar.
2. Abul Hajjaj Yusuf bin Zakki Abdurrahman bin Yusuf al-Muzzi al-Qudha’i.
3. Muhammad bin Abi Bakar bin Ibrahahim  al-Qadhi.
4. Qhadi Sulaiman bin Hilal bin Syabal.
5. Salim bin Abdurrahman bin Abdullah, dan murid-murid yang lain.
Karya-karya Imam Nawawi
  1. Raudhah ath-Thalibin, ringkasan asy-Syarh al-Kabir karya Imam Rafi’i. Kitab Raudhah ath-Thalibin ini disusun oleh Imam Nawawi selama tiga tahun (666-669 H)
  2. Syarah Shahih Muslim yang ia beri nama al-Minhaj.
  3. Syarah al-Muhadzdzab yang ia beri nama al-Majmu’.
  4. Minhaj ath-Thalibin, ringkasan kitab al-Muharrar karya Imam Rafi’i.
  5. Tahdzib al-Asma` wa al-Lughat.
  6. 6. Riyadh ash-Shalihin.
  7. 7. Al-Adzkar.
  8. 8. Nukat at-Tanbih.
  9. 9. Al-Idhah fi Manasik al-Hajj.
  10. 10. At-Tibyan fi Adab Hamalat al-Qur`an.
  11. 11. Tuhfah ath-Thalib an-Nabih.
  12. At-Tanqih, syarah al-Wasith, namun penulisan kitab ini hanya sampai bab syarat-syarat shalat.
  13. 13. Nukat ‘ala al-Wasith.
  14. At-Tahqiq. Kitab ini membahas hanya sampai masalah shalat musafir.
  15. Muhimmat al-Ahkam. Kitab ini membahas hanya sampai bersuci badan dan pakaian.
  16. 16. Syarh al-Bukhari.
  17. 17. Al-‘Umdah fi Tashhih at-Tanbih.
  18. 18. At-Tahrir fi Lughat at-Tanbih.
  19. 19. Nukat al-Muhadzdzab.
  20. Al-Muntakhab, syarah at-Tadznib karya Imam Rafi’i.
  21. Daqa’iq ar-Raudhah, yang pembahasannya hanya sampai pada masalah adzan.
  22. 22. Thabaqat asy-Syafi’iyah.
  23. 23. Mukhtashar at-Turmudzi.
  24. 24. Qismah al-Qana’ah.
  25. 25. Mukhatashar Ta`lif ad-Darimi fi al-Mutahayyirah.
  26. 26. Mukhtashar Tashnif Abi Syamah fi al-Basmalah.
  27. 27. Manaqib asy-Syafi’i.
  28. 28. At-Taqrib fi ‘Ilm al-Hadits.
  29. 29. Al-Khulashah fi al-Hadits.
  30. 30. Mukhtashar Mubhamat al-Khatib.
  31. 31. Al-`Imla` ‘ala Hadits Innama al-A’mal bi an-Niyyat.
  32. Syarh Sunan Abi Dawud. Kitab ini disusun oleh Imam Nawawi, namun baru sedikit yang ditulisnya.
  33. Bustan al-Arifin. kitab ini belum sampai ia sempurnakan.
  34. 34. Ru`us al-Masa`il.
  35. 35. Al-Ushul wa adh-Dhawabith.
  36. Mukhatashar at-Tanbih, namun baru satu lembar yang ia tulis.
  37. 37. Al-Masa`il al-Mantsurah.
  38. Al-Arba’in beserta syarah lafalnya.
Di antara karya-karya di atas yang sangat populer dan sampai sekarang masih dibaca oleh para ulama maupun orang-orang yang ingin memperdalam ilmu agama adalah kitab al-Majmu’, syarah kitab al-Muhadzdzab karya asy-Syairazi. Belum sempat menyelesaikan syarah tersebut, ia telah meninggal dunia sehingga diteruskan oleh Imam Subki dan al-Muthi’i. Sampai sekarang kitab tersebut berjumlah 23 Juz.
Kitab ini membicarakan masalah fiqih. Meskipun ia bermadzhab Syafi’i, dalam kitab ini ia membahas fiqih tidak hanya dari madzhab Syafi’i, tetapi dari berbagai madzhab. Ia membandingkan antara satu madzhab dengan madzhab lain melaui dalil-dalil yang dipakai. Maka pantas kalau kitab ini dikategorikan sebagai kitab Perbandingan Fiqih Islam.
Sebenarnya, tidak hanya kitab al-Majmu’ yang pupuler, masih banyak kitab-kitabnya yang sampai saat ini dibaca banyak orang, termasuk di pondok pesantren di Indonesia seperti kitab Minhaj at-Thalibin (tentang fiqih), Riyadh ash-Shalihin (tentang nasehat-nasehat), al-‘Arba’in (kumpulan empat puluh hadis), Syarah Shahih Muslim, Raudhah at-Thalibin, dan lain-lain.
Sebab-sebab Kepandaiannya
Ustadz Ahmad Abdul Aziz Qasim mengatakan, “Ada baiknya kita menjelaskan secara rinci pembentukan kepribadian yang besar ini. Setelah mempelajari biografinya secara keseluruhan, aku melihat bahwa faktor-faktor yang membentuk kepribadian itu terbagi dalam dua macam, antara lain:
Pertama; Faktor-faktor yang biasa dilakukan para pencari ilmu, hanya saja pelaksanaannya yang berbeda antara satu murid dengan murid yang lain seperti halnya perbedaan tujuan yang mereka inginkanFaktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
a. Melakukan perjalanan dalam mencari ilmu.
b. Keberadaannya di Madrasah Ar-Rawahiyah.
c. Bersungguh-sungguh dalam belajar.
d. Banyak belajar dan mendengar.
e. Banyak menghafal dan menelaah.
f. Belajar dari guru-guru besar dan mendapat perhatian dari mereka.
g. Tersedianya kitab-kitab secara lengkap.
h. Sering mengajar.
Kedua; Faktor-faktor yang tidak biasa, yaitu faktor bakat yang diberikan Allah kepada hambanya yang dikehendaki-Nya seperti yang telah difirmankan, “Allah menganugerahkan al hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunah) kepada siapa yang Dia kehendaki.” (Al-Baqarah: 269) Namun, pemberian hikmah disyaratkan dengan takwa dan takut kepada-Nya. Allah berfirman, “Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu.” (Al-Baqarah: 282)
Ustadz Ahmad Abdul Qasim kemudian menjelaskan perincian faktor-faktor di atas, namun kami tidak mengutipnya secara sempurna karena sangat panjang dan memang kami hanya ingin yang ringkas saja.
Termasuk kutipan yang indah adalah permintaan maaf Al-Hafizh Ibnu Subki ketika diminta menyempurnakan kitab Al-Majmu’. Ia mengatakan sebagai berikut:
“Bisa saja karena kemampuanku yang kurang aku berbuat salah dan zhalim ketika menyarahi kitabnya. Bagaimana aku melakukan seperti yang telah ia lakukan, dia telah mendapatkan pertolongan serta takdir telah memihaknya sehingga pertolongan dan takdir tersebut mendekatkan apa yang jauh darinya. Tidak diragukan lagi bahwa untuk menghasilkan karya besar membutuhkan, setelah mempunyai keahlian, tiga perkara:
Pertama; Hati yang tenang dan waktu yang banyak. Dan Imam Nawawi mempunyai hati yang tenang dan waktu yang banyak, ia tidak tersibukkan dengan kerja mencari rizki dan mengurusi keluarga.
Kedua; Terkumpulnya kitab-kitab yang digunakan untuk mempelajari dan menelaah pendapat para ulama. Dan Imam Nawawi mendapatkan kitab-kitab yang dia inginkan karena banyak tersedia dan mudah didapatkan secara mudah di daerahnya.
Ketiga; Niat yang baik, wira’i, zuhud dan amal-amal saleh yang memancarkan cahaya-cahayanya. Dan Imam Nawawi telah melakukan hal-hal ini secara sempurna. Barangsiapa yang terkumpul padanya tiga perkara tersebut maka ia akan menyamai Imam Nawawi atau paling tidak mendekatinya.”
Kemudian Subki melakukan penyempurnaan kitab Al-Majmu’ dengan harapan dapat barakah dari Imam Nawawi. Namun, ia tidak sampai merampungkannya sehingga penyempuraannya diteruskan oleh Al-Muthi’i.
Di antara hal yang menunjukkan kebenaran penjelasan Imam Subki tentang kelengkapan kitab Imam Nawawi adalah kondisi kamar Imam Nawawi. Kamar Imam Nawawi di asrama Madrasah Ar-Rawahiyah di Damaskus penuh dengan kitab-kitab sehingga saat ada  tamu yang masuk dia harus mengambil sebagian kitab-kitab untuk ditumpukkan pada sebagian yang lain agar tamu dapat duduk. Tentu kitab-kitab ini tidak untuk sekadar koleksi atau hiasan, tetapi untuk dikaji isi-isinya.
Keberanian Imam Nawawi Untuk Menegakkan Kebenaran
Peristiwa yang menunjukkan keberanian Imam Nawawi dalam membela kebenaran, menyuruh melakukan perbuatan yang makruf dan mencegah perbuatan yang mungkar adalah ketika raja Zhahir Baibras ingin memerangi pasukan Tartar di Syam. Raja ini meminfa fatwa kepada para ulama tentang diperbolehkannya mengambil harta rakyat untuk digunakan bekal melawan pasukan Tartar. Maka para ahli fiqih  Syam menulis kesepakatan yang memperbolehkan hal itu. Zhahir bertanya, “Masih ada seseorang yang belum menyetujui kebijakan itu?” Seseorang menjawabnya, “Ya, Syaikh Muhyiddin An-Nawawi.”
Sultan Zhahir Baibras meminta Imam Nawawi agar ia datang kepadanya. Imam Nawawi memenuhi permintaan tersebut. Sultan Zhahir berkata, “Tulislah kesepaktaan bersama para ahli fiqih !” Namun, Imam Nawawi tidak mau menuruti perintah tersebut. Sultan Zhahir Baibras mengatakan, “Apa sebab kamu tidak mau memberikan fatwa yang membolehkan seperti fatwa ahli fiqih yang lain?”
An-Nawawi menjawab, “Aku mengetahui bahwasanya kamu dulunya menjadi budak Bandaqar dan kamu tidak mempunyai harta. Setelah itu Allah memberikan kenikmatan kepadamu dan menjadikanmu sebagai raja. Aku telah mendengar bahwa kamu mempunyai seribu budak, setiap budaknya mempunyai simpanan emas, kamu mempunyai dua ratus budak perempuan dan setiap budak perempuan tersebut mempunyai perhiasan. Apabila kamu nafkahkan semua hartamu itu dan budak-budakmu masih tetap kamu miliki, maka aku akan memberikan fatwa kepadamu tentang bolehnya mengambil harta rakyat!”
Mendengar jawaban Imam Nawawi ini, Sultan Zhahir Baibras menjadi marah, lalu berkata kepadanya, “Keluarlah dari negeriku (Damaskus)!”  Imam Nawawi megatakan, “Aku turuti dan taati perintahmu.” Lalu Imam Nawawi keluar menuju Nawa.
Namun, para ahli fiqih mengatakan kepada sultan Zhahir, “Dia adalah salah satu ulama besar dan orang saleh kami dan termasuk orang yang dipercaya dan diikuti. Maka kembalikanlah dia ke Damaskus.” Lalu Imam Nawawi ditawari kembali ke Damaskus, namun ia menolak tawaran tersebut dan mengatakan, “Aku tidak akan masuk ke situ, selama Zhahir masih ada di dalamnya.” Setelah satu bulan dari peristiwa tersebut, Imam Nawawi meninggal dunia.”
Demikianlah biografi singkat Imam Nawawi yang menggunakan waktu siang malamnya untuk belajar dan menulis. Tidak sia-sia usaha yang dilakukannya, karena menulis adalah kerja keabadian. Siapa yang menulis dia akan terus hidup di tengah-tengah generasi manusia yang terus berganti. Dan memang seperti itulah yang kita rasakan, Imam Nawawi sampai sekarang masih hidup di tengah-tengah kita seperti halnya ulama-ulama yang lain. Semoga Allah memberikan ampunan dan pahala surga kepada para ulama, khususnya Imam Nawawi yang telah menjadikan dirinya sebagai pelayan ilmu dengan belajar dan menulis. Hal ini dilakukannya meskipun merelakan dirinya untuk tidak menikah sampai wafatnya. Atau karena memang ia masyghul dengan ilmu sehingga tidak sempat untuk menikah sebagaimana Imam Ibnu Taimiyah. Hanya Allah yang tahu.
Imam Nawawi meninggal dunia pada malam rabu tanggal 24 bulan Rajab tahun 676 H. Ia dimakamkan di Nawa, tempat kelahirannya.

1 komentar:

  1. Subhanallah... kita perlu meneladani kesungguhan ulama dalam menuntut ilmu

    BalasHapus