Al-Asqolani dan keluarganya
Syihabuddin Ahmad bin Ali Muhammad bin Hajar al-Syafi' al-Asqalani adalah nama lengkapnya. Kairo, 23 Sya'ban th 773 H adalah tempat kelahiran tokoh yang di negeri kita sangat terkenal dengan kitab Bulughul Marom itu. Kendatipun ia lahir dan tumbuh di Kairo namun gelar yang menempel pada dirinya adalah Asqalan, suatu daerah di Palestina. Menurut catatan sejarah nenek moyang maha guru ini pindah dari Asqolan ke Mesir pada tahun 573 H yaitu pada waktu kekuasaan Shalahuddin al-Ayyubi. Kepindahan atau lebih tepatnya eksodus warga Asqolan ini dikarenakan takut akan penyerbuan tentara salib. Lebih-lebih pemerintahan Asqalan pada waktu itu tidak mempunyai kekuatan yang memaahi untuk menghadang serangan musuh yang nota bene sudah siap dengan peralatan yang jauh lebih canggih.
Di Mesir, Keluarga Ibnu Hajar mendapatkan penghargaan yang besar dari Shalahuddin, sehingga mereka dengan tenang bisa menetap di Kairo dan Iskandariah. Mereka pun berbaur dan menikah dengan penduduk Mesir, sehingga lambat laun mereka pun telah menjadi warga negara Mesir dan bangga dengan negeri para nabi ini. Dalam hal ini Ibnu Hajar melukiskan : "Mesir adalah tempat yang mampu menyenangkanku, tempat aku bermain, tanah airku yang pertama, tujuan hajat keinginanku, tempat aku bermain dengan kawan-kawanku, tempat rekreasi mataku, tempat munculnya bulanku dan terbenamnya pikiran-pikiranku".
Banyak dari keluarga Ibnu Hajar yang mampu mencapai jabatan tinggi, baik dalam keilmuan, materi maupun kekuasaan. Ini semua karena mereka menjalin hubungan dengan pemuka-pemuka negara dan agama. Ayah Ibnu Hajar sendiri termasuk pembesar Kairo, sedangkan paman ayahnya termasuk pembesar ulama' fiqh syafi’i di Iskandariah. Dia dijuluki dengan mufti al-Tsagr, Kakeknya (dari garis ayah) yaitu Qutbuddin Muhammad memproduksi sutera di Iskandariah di samping mengajar hadits di Masjid al-Atthorin.
Qutbuddin –si kakek- menurunkan lima anak laki-laki, yang paling bungsu adalah Nuruddin Ali, ayah Ibnu Hajar ini yang lahir pada tahun 720 H. Ayah alim besar ini dibesarkan dalam lingkungan yang mencukupi, sehingga mempunyai banyak kesempatan untuk belajar dan menimba ilmu. Beliau mempunyai kecenderungan dalam fiqih, sastra dan syair. Dan unutk yang terakhir ini beliau mempunyai beberapa diwan (kumpulan syair). Di antara diwan tersebut, yang paling bagus ialah diwan al-haram, yaitu diwan untuk memuji Nabi dan Negeri Mekah. Bangga akan ayahnya Ibnu Hajar berkata: "Ayahku mempunyai akal yang cerdik, taat beragama, seorang pemuka kaum yang disegani, mempunyai akhlaq yang mulia, berkawan dengan orang-orang shalih dan sangat memuliakan mereka. Beliau hapal kitab “al-Hawi al-saghir”, mendapat ijazah untuk berfatwa, menguasai qiraat as-sab'ah dan hafal Alquran".
Ayah Ibnu Hajar, karena kemampuannya dalam sastra bisa berhubungan erat , bersanding sejajar dengan pembesar-pembesar pemerintah, baik dalam urusan keilmuan atau materi, sebagaimana penyair Ibnu Nabatah dan Zakiyuddin al-Kharubi pemuka para saudagar seantero Mesir. Nuruddin Ali menikahi saudara perempuan al-Kharubi, sebagai istri pertama. Abul Mahasin Tsaghri mengatakan, "Nuruddin Ali termasuk orang yang sukses dalam berdagang, kemudian beliau menikah lagi dengan anak dari al-Zahtawi, keluarga yang kaya dan berpangkat. Dengan istri yang kedua ini dia dikaruniai dua anak, yang pertama perempuan dan yang kedua adalah guru kita Imam Ahmad bin Hajar.
Ayah Ibnu Hajar sangat mengharapkan dikaruniai anak laki-laki. Oleh karena itu dengan kelahiran Ibnu Hajar ini, dia sangat senang sekali. Hal ini sebetulnya telah diisyaratkan oleh seorang wali - Syekh Yahya al-Shonafiri yang masyhur dengan mukasyafat-nya (dengan izin Allah mengetahui apa yang akan terjadi)- bahwasanya beliau akan dikaruniai oleh Allah, seorang anak laki-laki. Karena sangat senangnya dengan Syekh ini, beliau berwasiat supaya dikafani dengan pakaian syekh tersebut. Namun demikian, agaknya hadirnya anak laki-laki dalam keluarga Nuruddin ini tidak bisa ia nikmati sampai si anak tumbuh besar dan menjadi ulma' tingkat dunia. Belum juga si anak tumbuh remaja ia harus menghadap ilahi.
Sebelum meninggal, dia sempat memberikan nama panggilan pada anaknya "Abu al-Fadhl". Ibnu Hajar ditinggal oleh kedua orang tuanya pada waktu kecil, sehingga beliau menjadi yatim piatu yang tiada ringan bebannya, kecuali dengan kasih-sayang saudara perempuannya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar "Dia adalah ibuku, setelah ibu kandungku".
Sebetulnya bukan saudara perempuannya semata yang mengasuh, mengasah, mendidik Ibn Hajar sehingga menjadi orang besar. Ada juga nama al-Kharubi.
Ibn Hajar dan aktivitas keilmuan
Dalam asuhan al-Kharubi Ibn Hajar kecil dimasukkan pada kuttab (Sekolah Alquran) di waktu umurnya masih lima tahun. Karena ketekunan dan memang mendapatkan anugerah kecerdasan di atas rata-rata ia mampu menghafal al-qur'an pada waktu umur 9 tahun. Sehingga ada yang mengatakan dia menghafal surat Maryam dalam sehari. Dia juga menghafal banyak hadits. Pada tahun 786 H al-Kharubi meninggal ketika pergi bersama Ibnu Hajar ke Mekkah. Dan yang menjadi pengasuh berikutnya adalah Syamsuddin al-Qhatthan, guru Alquran, fiqih, lughat dan hisab.
Nama Ibn Hajar di negeri kita mungkin bisa diidentikkan dengan hadis. Dan memang ia sangat tertarik mempelajari ilmu hadits. Seluruh waktunya dihabiskan untuk mempelajarinya. Lebih khusus lagi dalam majlis kedua gurunya (al-Bulqini dan Ibnu al-Mulqin). Dan karena pengarang Bulughul marom ini menjalin hubungan dengan pemerintahan, ia mempunyai banyak pengetahuan dalam urusan politik dan kemasyarakatan. Dalam hal ini ia mengarang kitab “Inba' al Ghamr bi Abna' al 'Umr” dan kitab “ad-Durar al-Kaminah fi 'Ayan al Mi'ah al Tsaminah”. Alim besar ini sempat juga mengajar di Madrasah al-Syaikhuniyyah di daerah Ibnu Thulun pada tahun 808 H atas perintah Sultan al-Faraj bin al-Barquq. Jabatan ini sangat prestise karena hanya bisa dipegang oleh ulama-ulama besar. Di samping mengajar di Madrasah yang prestise itu ia juga menjadi pengajar di al-Mahmudiyyah yang terkenal akan keindahannya. Setelah tiga tahun menjalani kehidupan mengajar di kedua tempat tersebut sang alim hadis ini pindah ke Madrasah al-Jamaluddin dengan gaji setiap bulannya 300 dirham. Di samping mengajar ia juga mempunyai wewenang dalam berfatwa juga punya jabatan dar al-'adl dan pimpinan penghulu (qodi) madzhab Syafi'i.
Ibnu Hajar termasuk ulama' yang produktif menulis. Karangannya mencapai 150 buah dan masterpiece-nya ialah “Fath al-Bari fi al-Syarh al-Bukhori”. Buku karangan Ibnu Hajar sangat beragam, mulai dari sejarah, filsafat sampai adab. Dalam kitab “al-Tarajim” ia mampu menuturkan semua tokoh yang mempunyai keutamaan, tidak seorangpun yang terlewatkan dalam bukunya yang cukup populer ini.
Ibn Hajar wafat
Mengarang agaknya merupakan tarikan dan hembusan nafas pengarang besar ini. Dan ini ia buktikan sampai hembusan nafasnya yang terakhir kali dirumahnya, di daerah Bab Sya'riyyah. Jenazah alim besar ini dishalatkan dalam suasana khidmat yang dihadiri oleh Sultan Dlahir Jakmak, dan yang memikul peti jenazah beliau adalah para pangeran sendiri dengan beberapa ulama. Jasad mulianya dimakamkan di dekat Imam Syafi'i
Tidak ada komentar:
Posting Komentar