Raja para ulama' ini bernama lengkap Izzuddin bin Abdul Aziz bin Abil Qasim. Dia dilahirkan tahun 578 H.
Izzuddin dan aktivitas keilmuan
Sebagai alimnya para ulama' ia belajar fikih pada al-Fakhr Ibn Asakir, mengaji ushul pada Saif al-Idziy, menerima pelajaran hadits dari Umar bin Tobarzed. Beliau mempunyai pengetahuan yang sangat luas dalam fikih dan qaidah-qaidah bahasa Arab. Imam Zahabi mengatakan :"Pada Syaikh Izzuddin inilah pengetahuan mazhab (syafi'i) berhenti. Keutamaan yang mengagumkan ini dibalut juga dengan perangainya yang zuhud dan wara'. Beliau sudah mencapai derajat mujtahid.
Syekh Izzuddin datang dan menetap di Mesir lebih dari 20 tahun sambil menyebarkan ilmu, amar ma'ruf nahi munkar. Beliau berani mengkritik dengan keras para raja dan bawahannya. Ketika Imam besar ini menginjakkan kaki di Mesir beliau disambut oleh Syaikh Zakiyuddin al-Mundziri. Karena sangat hormatnya kepada Syaikh Izzuddin, ia berhenti berfatwa sembari berkata: "Saya berfatwa sebelum kedatangan beliau, adapun setelah ini, maka jabatan berfatwa harus diserahkan kepada beliau”.
Syekh Izzuddin dan konflik politik di Syria
Selama beberapa tahun Izzuddin pernah bermukim di Syria, meskipun akhirnya kembali lagi ke Mesir. Di Syria ini ia mengalami kejadian politik yang memilukan karena bukan hanya menyangkut harga diri sebagai warga negara atau muslim tapi Islam itu sendiri secara pasti.
Pada tahun 608 raja Shalih Ismail ( gubernur Damaskus) mengizinkan penjajah Perancis memasuki Damaskus dan membeli perangkat perang. Mereka kemudian banyak membeli perangkat perang dari penduduk Damaskus. Keputusan gubernur ini tidak diterima para ulama' dan ditentang habis. Para ulama Damaskus dengan dikepalai Izuddin bin Abdussalam berfatwa atas keharaman menjual senjata kepada orang salib. Beliau dalam khutbah-nya di Masjid Jami' Umawi tidak lagi mendoakan Shalih Ismail tapi justru mengatakan: "Ya Allah, berilah keputusan yang bijak untuk umat ini. Jadikan para kekasihmu mulia dan musuhmu menjadi hina. Ketaatan kepada-Mu ditegakkan, maksiat kepada-Mu dijauhkan". Para hadirin mengamini dengan khusu’.
Ketika itu Shalih Ismail sedang tidak ada di Damaskus. Para pembantunya kemudian mengabarinya tentang ini. Lalu Shalih Ayyub mengirim surat untuk memecat Ibnu Abdissalam dari jabatan sebagai khatib dan menangkapnya bersama Syaikh Abi Amr ibn al-hajib karena dia ikut serta memprotes Shalih Ayyub. Ketika Shalih Ismail tiba kembali di Damaskus, dia memerintahkan untuk melepaskan mereka berdua dan melarang Izzuddin bin Abdissalam untuk keluar rumah. Ia tidak boleh berfatwa dan tidak boleh bertemu siapapun. Akan tetapi beliau meminta izin untuk shalat jum’at, pergi ke dokter atau ke pemandian. Permintaan itu dikabulkan.
Ketika jam keluar itulah Syaikh Izzuddin dan Ibnu Hajib pergi menuju Mesir. Di tengah perjalanan, Shalih Ismail mengirim utusan dan meminta mereka kembali ke Damaskus dan dikembalikan lagi jabatan-jabatan beliau. Utusan itu mengatakan: "Yang kami harapkan darimu cumalah merendah di hadapan raja dan mencium tangannya". Syaikh Izzuddin menjawab, "Alangkah kasihannya dia, saya tidak rela dia mencium tanganku apalagi saya mencium tangannya. Wahai kaum, kamu ada di satu jurang dan saya di jurang yang lain, puji bagi Allah yang telah membebaskan kita dari cobaan yang ditimpakan kepada kalian.
Syekh Izzuddin dan kiprahnya di Mesir
Sesampainya di Mesir, Syekh Izzuddin dan Ibn Hajib disambut oleh raja Najmuddin bin Ayyub. Beliau menyambut dengan penuh kemuliaan dan mengangkatnya sebagai Qadli Mesir. Belum beberapa lama beliau sudah berselisih dengan para pembesar dan penguasa Mesir. Akan tetapi beliau tidak tunduk dan tidak takut komentar jelek dalam hal kebenaran.
Suatu ketika seorang pegawai istana yang bernama Fakhruddin Utsman ingin mendirikan tempat hiburan musik di belakang salah satu masjid di Kairo. Setelah tempat hiburan itu berdiri rupanya penduduk sekitar tidak senang dengan suara genderang apalagi berseberangan dengan masjid. Ketika permasalahan ini sampai ke Syaikh Izzuddin, beliau memberi putusan untuk menghancurkan bangunan tempat hiburan tadi dan menghukum Fakhruddin (dengan kefasikannya).
Fakhruddin dan yang lainnya menyangka bahwa keputusan Syaikh Izzuddin tidak ada dampaknya di luar Mesir. Suatu ketika Raja Najmuddin mengutus utusan untuk menghadap Khalifah Abbassiyah Mu'tashim di Baghdad. Ketika utusan tadi sampai di hadapan khalifah dan meny¬e¬rahkan surat kepadanya, khalifah bertanya, "Apakah kamu men¬¬dengar surat ini langsung dari Raja?". Dia menjawab: "Tidak, a¬kan tetapi aku menerimanya dari Fakhruddin, pegawai istana. Khalifah mengatakan, "Fakhruddin adalah orang yang sudah dihu¬¬kumi (fasik) oleh Ibnu Abdissalam, maka kami tidak meneri¬¬ma ceritanya". Lalu utusan tadi kembali ke raja sehingga bisa mendengar langsung akan isi suratnya dari mulut raja. Setelah itu utusan tadi kembali lagi ke Baghdad.
Ada keputusan yang dikeluarkan oleh Ibnu Abdissalam dan dicatat sejarah sebagai simbol keadilan mutlak, tanpa pandang bulu dan menunjukkan kejelian dalam menerapkan hukum syariah. Karena keputusannya ini ia dijuluki pemimpin para pembesar ( Sayyid al-Rijal). Keputusannya yang kontraversial pada saat itu adalah menjual para pangeran mamalik karena mereka tidak terbukti berstatus merdeka. Status mereka masih menjadi budak yang dimiliki oleh baitul maal. Syaikh Izzuddin memutuskan bahwa mereka tidak sah dalam jual beli dan pernikahannya. Putusan ini membuat marah para pangeran termasuk wakil raja. Mereka mengirimkan utusan kepada Izzuddin lalu dijawab: “Kami mengadakan rapat lalu kami menegaskan keputusan bahwa kalian milik bait al-maal.”.
Keputusan ini dilaporkan kepada sang raja lalu dia meminta agar Syekh Izzuddin bersikap baik kepada para pangeran begitu juga wakil raja. Namun sayang permintaan itu tidak ada hasilnya, sang alim ini tidak mau surut satu jenggalpun. Demi mendengar sikap Izzuddin yang tegas itu wakil raja murka sambil berkata: “Bagaimana Syekh ini memanggil kita dan menjual kita ?., Kita adalah raja-raja dunia. Demi Allah akan kupenggal kepalanya dengan pedangku ini.
Lalu berangkatlah wakil raja ini bersama tentaranya menuju rumah Syaikh Izzuddin. Sambil menghunus pedang ia mengetuk pintu rumah Izzuddin. Ketika anak beliau melihat kemurkaan wakil raja dan memberitakan kepada beliau tentang ini, Syaikh Izzuddin mengatakan: “Wahai anakku, ayahmu ini sangatlah pantas unuk mati pada jalan Allah”. Lalu beliau keluar. Ketika pandangannya tertuju pada wakil raja, tangannya menjadi lemas, pedangnya jatuh dan persendiannya bergemetar. Sambil menangis ia meminta untuk didoakan : “Wahai tuanku apakah yang hendak tuan lakukan?” Beliau menjawab: “Akan memanggil dan menjual kalian”. Dia bertanya: “Akan dikemanakan harga kami?”, Beliau menjawab: “Akan kita pergunakan untuk kemaslahatan muslimin”. Dia bertanya lagi: “Siapa yang akan menerima uangnya?”. Beliau menjawab: “Saya”. Dengan begitu sempurnalah apa yang diharapkan oleh beliau. Beliau memanggil para pangeran satu persatu dan menghargainya dengan sangat mahal lalu menerima uang jual belinya dan dipergunakan dalam kebaikan.
Ketegasan Syekh Izzuddin bukan hanya dalam menjatuhkan putusan. Beliau juga berani bersikap tegas dalam mencabut putusan yang dianggap salah, meskipun itu dari dirinya sendiri.
Suatu ketika Syekh Izzuddin bin Abdissalam berfatwa. Setelah menimbang-nimbang ia merasa ada kesalahan dalam fatwanya itu. Maka ia berkeliling ke seantero Mesir dan mengatakan : "Barangsiapa yang diberikan fatwa oleh Ibnu Abdissalam dalam masalah ini ini maka jangan dilakukan karena fatwa itu salah.
Karomah Syekh Izzuddin bin Abdus salam
Ketika datang berita kedatangan tentara Tartar yang mau menyerang penduduk Mesir, Syekh Izzuddin bertanya pada Raja Mudzoffar : " Kenapa Tuan menunda penyerangan pada tentara Tartar sampai hari raya tiba ? ". " Semua itu untuk mempersiapkan senjata ". Jawab raja. "Jangan begitu ! berangkatlah sekarang juga ! ", " Apakah Anda menjamin Allah SWT akan memberikan pertolongan pada kita? ". " Iya aku tanggung ", jawab Syekh Izzuddin tegas. Setelah pasukan diberangkatkan maka pertolongan Allah benar-benar berpihak pada mereka. Dan benarlah apa yang dikatakan Syaekh Izzuddin.
Ketika tentara Salib sedang menyerbu kota Manshuroh angin mendorong layar perahu mereka, sehingga pasukan kafir tersebut kelihatan besar. Hal ini membuat tentara Islam merasa kecil hati. Demi melihat apa yang terjadi Syekh Izzuddin memberi isyarat pada angin supaya menggoncangkan kapal-kapal musuh, beliau menyuruh angin beberapa-kali " Wahai angin ambil mereka ! ". Maka anginpun balik menerpa kapal-kapal mereka, sehingga banyak yang retak dan pecah. Perang ini akhirnya dimenangkan oleh tentara Islam berkat do'a beliau.
Suatu ketika beliau terlibat sengketa dengan Raja Mesir. Beliau kemudian memutuskan untuk meninggalkan kota Kairo bersama istrinya. Ketika beliau mulai meninggalkan kota Kairo, penduduk Kairo mengikutinya. Ketika Raja medengar berita ini, diapun mendatangi Syaekh Izzuddin agar mengurungkan niatnya meningalkan Kairo. Raja meminta maaf atas kesalahannya terhadap Syaekh Izzuddin. Dia takut kerajaannya hilang karena para penduduk mengikuti beliau.
Syekh Izzzuddin –sebagaimana diceritakan oleh putranya- berkata : " Ketika aku diantara bangun dan terjaga, tapi lebih dekat ke terjaga, aku mendengar suatu suara : " Bagaimana kamu mengaku cinta pada-Ku padahal kamu tidak memakai sifat-Ku ?. Aku Maha Penyayang dan pengasih, maka sayangi dan kasihanilah makhluk yang mampu kamu kasihi. Aku adalah zat yang Maha Menutupi aib, maka jadilah kamu insan yang menutupi cacat orang lain. Janganlah kamu memperlihatkan cacat dan dosamu, karena itu membuat murka Allah yang maha Mengetahui segala hal yang gaib. Aku adalah zat Yang Maha pemurah, maka jadilah kamu insan yang pemurah pada setiap orang yang menyakitimu. Aku adalah zat Maha lembut, maka lembutlah pada setiap makhluk yang Aku perintahkan untuk berbuat lemah-lembut ".
Akhir Hayat Syekh Izzuddin
Di akhir hayatnya beliau tidak mengikuti satu madzhab. Alim besar ini berfatwa berdasarkan ijtihadnya sendiri. Ketika beliau mengundurkan diri dari jabatan sebagai Qadli, sang raja mengharapkan agar beliau berkenan menduduki jabatan itu lagi. Lalu beliau menerimanya dan meminta dengan sangat untuk dibebaskan dari jabatan sebagai qadli, lalu beliau diangkat sebagai guru di madrasah yang terkenal dengan nama Madrasah Shalihiyyah. Imam Suyuthi mengatakan bahwa karomah Imam Ibnu Abdissalam sangat banyak. Beliau memakai pakaian tasawuf dari al-Syihab al-Sahrawarai sebagaimana beliau menghadiri majlis Syaikh Abu al-Hasan al -Syadili. Abu Hasan mengatakan tidak ada di muka bumi ini suatu majlis fikih yang lebih utama dibandingkan majlisnya Syaikh Izzuddin bin Abdissalam. Walaupun beliau sangat keras, beliau menghadiri majlis dzikir ahli tasawwuf dan berjoget bersama mereka. Muridnya al-Qadli Ibnu Daqiq al-Id mengatakan: “Syaikh Izzuddin bin Abdissalam adalah salah satu raja para ulama. Beliau wafat di Mesir pada tahun 660 dan dimakamkan di pekuburan al-Qarrafah al-Kubra.
Syukron Katsir.... Bang.. Minta Referencinya doonk tuk Biografi Syaikh Izzuddin...
BalasHapussyukron katsiron.........
BalasHapusAllohummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu 'anhu......
robby fanfa'na bibarkatihim wahdinal husna bihurmatihim wa aghitsna fi thoriqotihim wa mu'afatimminal fitani....amin